Jakarta (ANTARA News) - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyatakan bahwa hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak menjadi kewenangan mutlak hakim yang menyidangkan perkara tersebut di pengadilan.Hakim di pengadilan yang menentukan. Itu hukuman tambahan. Jadi terserah hakim,"
"Hakim di pengadilan yang menentukan. Itu hukuman tambahan. Jadi terserah hakim," katanya ditemui seusai acara pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Kepegawaian oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, hakim tentu akan mempertimbangkan tingkat keparahan korban dan berulangnya kasus tersebut sebelum memutuskan seorang terdakwa kasus kejahatan seksual layak mendapatkan hukuman kebiri.
Hukuman kebiri itu, jelas Yasonna, akan dilakukan dengan cara memberikan suntikan cairan kimia, seperti halnya hukuman mati yang berlaku di beberapa negara.
"Tentunya pula hakim tidak akan mudah memutuskan hukuman kebiri. Pasti hakim akan meminta pendapat para ahli," ujarnya menambahkan.
Terkait adanya penolakan sejumlah dokter atas hukuman kebiri tersebut, Menkumham berkomentar, "memang tugas dokter menyembuhkan, bukan menyakiti pasien. Namun di beberapa negara dokter melakukan eksekusi terpidana mati dengan memberikan suntikan."
Kalau soal perintah hukum, lanjut dia, maka dokter tidak boleh menolak atau mengelaknya.
Sebelumnya dia juga mengatakan bahwa Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang yang mengatur soal hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak masih berada di tangan Menteri Sekretaris Negara dan akan segera disampaikan kepada DPR.
Yasonna menyampaikan Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak itu lebih bertujuan untuk melindungi anak.
Khusus terkait hukuman tambahan berupa kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak yang diatur dalam Perppu, Yasonna menekankan implementasinya akan sangat selektif dan berdasarkan kajian.
Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016