Tradisi kawin lari di Sade Lombok

29 Mei 2016 11:17 WIB
Tradisi kawin lari di Sade Lombok
Perkampungan Suku Sasak Sejumlah warga suku Sasak bersantai di halaman rumahnya di Dusun Sade, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat pada fot0 13 Februari 2015 (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)
Dusun Sade yang terletak di Desa Rambitan, Kecamatan Puju, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat dikenal sebagai lokasi wisata budaya dan pusat kerajinan tenun.

Desa yang dihuni sekitar 700 jiwa penduduk itu juga memiliki tradisi yang justru dianggap tabu oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Suku Sasak penduduk desa masih menganut tradisi kawin lari atau kawin culik atau dalam bahasa masyarakat setempat disebut sebagai "merari" sebelum melangsungkan pernikahan resmi.

"Kalau kawin lari itu laki-laki dan perempuan sudah pacaran dulu, jadi didasari rasa suka sama suka. Sebelum dilarikan, biasanya calon pengantin laki-laki dan perempuan sudah janjian dulu," ujar Katram (21), seorang warga yang memandu Antara saat berkunjung ke Desa Sade, beberapa waktu lalu.

Kawin culik dilakukan jika hanya pihak laki-laki yang menyukai, sehingga diperlukan upaya lebih keras agar berhasil melarikan si perempuan.

Selama dilarikan, si laki-laki akan membawa calon istrinya keluar desa untuk bermalam di rumah saudara atau kerabatnya.

Jika menyadari anaknya tidak pulang hingga larut malam (perempuan suku Sasak tidak diperbolehkan keluar rumah setelah ibadah shalat Isya), orang tua si perempuan akan mengirim seorang pejati atau kurir untuk melaporkan penculikan anaknya kepada kepala dusun.

Hari berikutnya, laki-laki akan meminta keluarga atau kepala dusun untuk memberi tahu keluarga perempuan bahwa ia telah melarikan anak gadisnya.

Menurut adat suku Sasak, seorang gadis yang sudah kabur dengan kekasihnya atau sudah terculik, harus segera dinikahkan karena peristiwa tersebut sudah diketahui seluruh masyarakat desa atau dikenal sebagai "nyelabar".

Kedua pihak keluarga kemudian menjalani adat "selabar", "mesejati", dan "mbait wali" sebagai proses permintaan izin pernikahan dari keluarga laki-laki ke keluarga perempuan.

Ketiga proses ini dapat berlangsung hingga tiga hari, termasuk dalam "mbait wali" di mana pihak laki-laki dan perempuan melakukan pembicaraan uang "pisuka" (jaminan) dan mahar.

"Setelah itu baru pernikahan dilangsungkan dengan cara Islam lewat ijab qabul. Selama proses pelarian atau penculikan, laki-laki dan perempuan tidak boleh melakukan perbuatan tercela. Mereka baru diperkenankan berhubungan badan setelah prosesi ijab qabul selesai," kata Katram.

Prosesi adat pernikahan suku Sasak diakhiri dengan proses "nyongkolan", yakni kedua mempelai diiring menuju ke rumah orang tua mempelai perempuan.

Setelahnya, pasangan yang baru menikah akan menempati rumah kecil yang disebut "bale kodong".

"Itu adalah tempat tinggal sementara sampai keduanya bisa membuat rumah yang lebih besar, biasanya mereka menggunakan waktu tinggal mereka di bale kodong untuk bulan madu," ungkap Katram.

Menurut tradisi suku Sasak, menculik atau melarikan seorang perempuan dianggap lebih terhormat daripada melamar langsung kepada orang tuanya.

Lagi pula, tradisi tersebut masih sangat kuat dipertahankan oleh warga Sasak serta memengaruhi bentuk rumah adat mereka.

Rumah adat suku Sasak didesain sedemikian rupa dengan dua ruangan (luar dan dalam)serta tanpa jendela sehingga akses keluar masuk hanya melalui satu pintu utama. Anak perempuan diharuskan tidur di bagian dalam rumah, berdekatan dengan dapur, sedangkan orang tua dan anak laki-laki di bagian luar.

Pengaturan ruangan tersebut dimaksudkan supaya anak gadis tidak mudah dilarikan laki-laki.

Namun, orang tua masih menerima kunjungan laki-laki yang ingin "apel" atau berminat kepada anak gadis mereka.

"Satu gadis bisa sampai 10 laki-laki yang menyukai, tapi tetap saja siapa yang berhasil membawa lari duluan ya dia yang dapat," Katram menjelaskan.

Tetapi, jika orang tua perempuan melihat atau memergoki langsung saat anaknya dilarikan, ia akan mengejar si lak-laki.

"Kalau berhasil ditangkap maka mereka tidak jadi menikah," kata Katram.

Konon, tradisi "merari" ini dilatarbelakangi cerita rakyat Lombok tentang seorang raja yang memiliki putri sangat cantik hingga membuat banyak pria tergila-gila.

Sang raja kemudian membangun sebuah kamar dengan penjagaan ketat dan membuat sayembara bahwa siapapun yang berhasil menculik putrinya, dia lah yang akan dinikahkan dengan sang putri.

Menenun
Sejak umur delapan tahun, anak-anak perempuan suku Sasak sudah diajari menenun supaya mereka mewarisi bakat turun temurun leluhur mereka.

Perempuan suku Sasak boleh menikah jika mereka sudah bisa menenun dengan rapi, biasanya saat usia mereka menginjak 13 tahun.

"Kalau sudah bisa menenun itu perempuan baru dianggap mandiri karena mereka bisa mencari nafkah dengan menjual kain, sementara laki-laki sebagian besar bertani," ujar Katram.

Laki-laki Sasak sudah mulai mengejar pendidikan hingga tingkat universitas, namun perempuan tidak diizinkan mengenyam pendidikan tinggi.

Gadis Sasak hanya bisa menikmati pendidikan maksimal hingga SMA, sementara sebagian besar dari mereka sudah dinikahkan ketika masih duduk di bangku kelas dua atau tiga SMP.

Katram mengaku menikah saat berusia 17 tahun dan istrinya 15 tahun. Dua sejoli itu beruntung karena pernikahan mereka didasari rasa cinta satu sama lain.

Tidak semua perempuan Sasak seberuntung istri Katram. Mereka terpaksa menerima pinangan laki-laki yang berhasil melarikan mereka, suka tidak suka, cinta atau tidak.

Oleh Yashinta Difa P.
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016