"Proyek tersebut juga berperan dalam akselerasi pembangunan daerah dengan penyerapan tenaga kerja lokal, pelatihan dan pengembangan masyarakat lewat Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL)," kata Project Controller PPGM M Rully Yasradi dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin.
Keberadaan bioreactor tersebut merupakan bagian dari fasilitas produksi pengolahan asam sulfat (H2S) menjadi Sulfur. "Sampai dengan saat ini, PT Pertamina EP merupakan satu-satunya perusahaan di Indonesia yang menggunakan teknologi oksidasi dengan bantuan bakteri," ujar Rully.
Proyek Pengembangan Gas Matindok yang berlokasi di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, terdiri atas Central Processing Plan (CPP) Donggi dan CPP Matindok. Menurut Rully, bioreaktor digunakan untuk dua CPP tersebut. "Selain di CPP Donggi, keberadaan Bioreactor ada juga di CPP Gundih, Jawa Tengah," katanya.
Pengembangan gas di Sulawesi Tengah merupakan proyek yang penting karena akan mempertahankan dan memperkuat posisi Indonesia sebagai negara pengekspor LNG terbesar di dunia. Pembangunan PPGM diyakini bakal meningkatkan kontribusi sektor minyak dan gas bumi dalam menyumbangkan devisa bagi negara dan kemungkinan sebagian untuk substitusi bahan bakar minyak dalam negeri.
CPP Donggi sejak Mei tahun ini mulai menyalurkan gas sebanyak 50 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) kepada PT Donggi Senoro LNG (DSLNG). Gas ini berasal dari delapan sumur di struktur Donggi. Ke depan, CPP Donggi masih dimungkinkan untuk mendapatkan gas dari struktur Minahaki.
Pembangunan CPP Donggi yang menghabiskan anggaran sekitar 300 juta dolar AS tersebut dilakukan PT Rekayasa Industri (Rekind) sejak 2012.
"Pembangunan fasilitas produksi sudah 98,83 persen. Akhir tahun ini diperkirakan sudah full operated oleh Pertamina EP," kata Rully. Dia menambahkan proses pembangunan CPP Donggi melibatkan sedikitnya 2.000 orang tenaga lokal yang berasal dari Kabupaten Banggai.
Sementara pembangunan CPP Matindok dengan kapasitas 55 MMSCFD sejak 2014 digarap kontraktor konsorsium PT Wijaya Karya (Wika) dan PT Technip Indonesia. Proyek senilai 234 juta dolar AS ini diperkirakan baru akan beroperasi pada kuartal IV 2016.
Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016