Hal itu menurut Wregas tidak lepas dari latar belakangnya yang tumbuh besar di Yogyakarta dan membuat Bahasa Jawa sebagai bahasa ibunya.
"Saya dari kecil dan tumbuh besar hidup di Yogyakarta dan itu sangat membekas buat saya,," kata Wregas di sela-sela sesi unjuk bincang selepas pemutaran lima film pendek karyanya di Institut Francais Indonesia, Jakarta, Kamis.
Oleh karena itu Wregas mengaku meski enam tahun terakhir ia habiskan untuk studi dan bekerja di Jakarta, namun dirinya masih belum nyaman berbahasa Indonesia, termasuk dalam berkarya.
"Maksudnya ketika saya ngomong Bahasa Indonesia seperti sekarang ini seperti ada sesuatu yang saya tahan di tenggorokan ini," kata Wregas.
"Maksute nek aku ngomong iki luwih enak nganggo boso jowo (Maksudnya kalau saya berbicara lebih enak pakai Bahasa Jawa)," ujar dia menambahkan.
Selain perkara kenyamanan pribadinya, film-film pendek karya Wregas termasuk "Senyawa" (2012), "Lemantun" (2014), "Lembusura" (2014), "The Floating Chopin" (2015) dan "Prenjak" (2016) berlatar lokasi di Yogyakarta.
Wregas mengatakan keseharian di Yogyakarta setiap orang berbicara dengan Bahasa Jawa ngoko sehingga lebih tepat jiika menggunakan Bahasa Jawa dalam film-film karyanya.
"Kalau orang Yogyakarta berbicara antarteman pakai Bahasa Indonesia justru seolah ada jarak dan menjadi kaku," ujarnya.
Wregas menyangkal jika penggunaan Bahasa Jawa di film-filmnya dimaksudkan untuk menghadirkan sisi eksotisme jika diikutsertakan dalam kompetisi maupun festival.
"Tidak ada pertimbangan supaya ini eksotik dalam festival, tetapi lebih supaya agar saya enak saja dan nyaman," pungkasnya.
Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016