• Beranda
  • Berita
  • KPK larang pegawai negeri dan penyelenggara negara terima parsel

KPK larang pegawai negeri dan penyelenggara negara terima parsel

24 Juni 2016 17:33 WIB
KPK larang pegawai negeri dan penyelenggara negara terima parsel
Direktur Gratifikasi KPK, Giri Suprapdiono (ANTARA FOTO/Jafkhairi)

...kalau diterima akan sangat dekat dengan pidana gratifikasi. Tindak pidana ini serius karena dapat dipenjara minimal 4 tahun dan bisa sampai seumur hidup dengan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar...."

Jakarta (ANTARA News) - KPK melarang pegawai negeri dan penyelenggara negera menerima gratifikasi termasuk parsel menjelang hari raya Idul Fitri.

"Kita melarang pegawai negeri dan penyelenggara negara. Pegawai negeri jumlahnya lebih dari 5 juta orang yang terdiri atas pegawai negeri sipil, TNI/Polri, pegawai BUMN/BUMD, pegawai lembaga. Pegawai BUMN/BUMD di semua level dilarang menerima gratifikasi," kata Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono di gedung KPK Jakarta, Jumat.

KPK pada Sabtu (25/6) akan mengirimkan surat himbauan kepada Kementerian/Lembaga termasuk BUMN agar menolak pemberian gratifikasi dan memasang iklan dengan tujuan yang sama.

"KPK juga melarang untuk menerima parsel selama hari raya. Ada beberapa pihak yang menyatakan dunia parsel akan berhenti, padahal yang dilarang itu hanya sekitar 5 juta pegawai negeri dan penduduk Indonesia itu 250 juta, jadi masih ada 245 juta yang boleh menerima. Pemberian parsel atau hadiah kami anjurkan kepada orang yang tidak terkait dengan jabatannya pegawai negeri yang gajinya dibayar negara dari pajak dan kekayaan alam sehingga tidak perlu diberikan parsel," tambah Giri.

Selanjutnya bila ada kementerian/lembaga pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah yang meminta Tunjangan Hari Rayat (THR) kepada masyarakat maka KPK meminta masyarat atau perusahaan tidak memberikan THR tersebut.

"Masyarakat atau perusahaan tidak perlu memberikan karena kalau diterima akan sangat dekat dengan pidana gratifikasi. Tindak pidana ini serius karena dapat dipenjara minimal 4 tahun dan bisa sampai seumur hidup dengan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Kalau disebutkan akan ada konsekuensi perusahaan menolak untuk memberikan THR maka silakan dilaporkan ke KPK karena hal itu merupakan indikasi pemerasan dan tindak pidana lain," jelas Giri.

Dalam 3 tahun terakhir, menurut Giri, Direktorat Gratifikasi KPK sudah menerima laporan penerimaan gratifikasi sebanyak 5.187 laporan.

"Gratifikasi berupa uang dan barang menjadi laporan terbanyak selanjutnya gratifikasi pelayanan publik sebanyak 32 persen dan terakhir gratifikasi parsel sebanyak 12 persen.

"Gratifikasi itu tidak ada batasannya, termasuk pelayanan publik itu dilarang berapapun tapi peraturan komisi boleh kalau dari keluarga, selanjutnya gratifikasi dalam pernikahan maksimal Rp1 juta. Apabila ada pihak-pihak tertentu menerima gratifikasi dan tidak dilaporkan dari 30 hari kerja maka itu bisa jadi pengaduan masyarakat dan itu bisa diteruskan ke penindakan," ungkap Giri.

Pasal 12B UU No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi mengatur bahwa gratifikasi adalah pemberian bila terkait dengan jabatan, berkaitan dengan tugas dan kewajiban dan tidak dilaporkan dalam 30 hari kerja. Gratifikasi meliputi pemberian uang, barang, rabat (potongan harga), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya kepada setiap pegawai negeri dan pejabat penyelenggara negara.

"Kalau melanggar hal-hal tersebut, bisa dilaporkan ke penyidik KPK," tegas Giri.

Hingga saat ini Direktorat Gratifikasi baru menerima 850-900 laporan gratifikasi yang bersifat umum, tidak semuanya laporan pemberian parsel. Pada periode 2014-2015 total ada laporan 2.850 penerima gratifikasi.

Imbauan ini ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, ketua/pemimpin lembaga tinggi negara, ketua/pemimpin Komisi Negara, Jaksa Agung, Kapolri, Panglima TNI, para menteri Kabinet Kerja, kepala lembaga pemerintahan nonkementerian, gubernur, bupati, wali kota, Direksi BUMN/BUMD, serta pemimpin perusahaan dan asosiasi/himpunan perusahaan di Indonesia.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016