Penduduk Bumi Serambi Mekkah melaksanakan tradisi yang meliputi pemotongan hewan secara massal itu sebagai wujud ungkapan syukur atas segala nikmat serta rahmat Allah SWT pada hari besar Islam.
Saat meugang menjelang bulan Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, biasanya mereka memotong sapi, kambing, dan kerbau bersama-sama.
"Tradisi meugang di Aceh sudah ada sejak masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, itu bagian dari syiar," tutur Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Badruzzaman Ismail saat berkunjung ke Sabang.
Pada masa itu, menurut Badruzzaman, Sultan Iskandar Muda memerintahkan setiap pemimpin di tingkat permukiman mendata seluruh fakir miskin dan membagikan daging beserta bumbunya kepada mereka yang kurang mampu.
Badruzzaman menuturkan tradisi meugang pada masa itu termaktub dalam Qanun Meukuta Alam Al Asyi, Undang-Undang Kerajaan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
"Meugang sudah ditetapkan dalam Qanun oleh kerajaan dan sekarang sudah jadi tradisi," katanya.
Tradisi itu masih bertahan. Setiap kepala keluarga masih merasa punya kewajiban moral untuk membawa pulang daging untuk dimasak dan dinikmati bersama keluarga dan kerabat menjelang Ramadhan atau Hari Raya.
Ismail, warga Cot Ba U, Kota Sabang, mengatakan, pada hari meugang setiap kepala keluarga merasa wajib membawa pulang daging untuk keluarga meski hanya satu kilogram.
Meski harga daging sekarang Rp140 ribu sampai Rp160 ribu per kilogram, namun warga Sabang tetap antusias membelinya untuk kebutuhan meugang.
Pasar-pasar tradisional penuh. Para pedagang daging yang sudah mulai berjualan usai shalat subuh kebanyakan sudah menjual habis seluruh barang dagangannya pada pukul 10.00.
Biasanya warga menghidangkan rendang, sop, atau tumis daging saat meugang.
"Bahagia rasanya bisa berkumpul dan makan bersama keluarga saat meugang memasuki hari Raya Idul Fitri," kata Nurhayati, seorang ibu rumah tangga.
Pewarta: Irman Yusuf
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016