Dalam "Grebeg Syawal" Tahun Jimawal 1949 itu, tujuh gunungan berisi aneka hasil bumi diarak ratusan prajurit dari Siti Hinggil Keraton Yogyakarta. Lima di antaranya menuju Masjid Gedhe, sementara dua gunungan lainnya menuju Kantor Kepatihan, dan Puro Pakualaman.
Beberapa waktu setelah selesai didoakan oleh penghulu Keraton Ngayogyakarta di serambi masjid itu, ratusan warga yang sudah menunggu langsung berlari memperebutkan isi gunungan itu. Kelima gunungan itu habis dalam sekejap.
Sugiarti (67) warga Bandung, Jawa Barat mengaku antusias dengan isi gunungan itu, setelah selama lima tahun tidak dapat berjumpa dengan upacara Grebeg Syawal.
Kendati hanya mampu meraih dua batang dari bambu dengan segumpal ketan merah di ujungnya, Sugiarti mengaku senang. Apa yang didapatkannya itu ia yakini membawa keberkahan hidup.
"Akan saya bawa pulang ke Bandung, untuk keberkahan," kata Sugiarti yang ditemani dua cucunya.
Berbeda dengan Agung (48) warga Patuk, Kota Yogyakarta yang berhasil mendapatkan empat lonjor kacang panjang. Bagi Agung kacang panjang itu dipercaya dapat digunakan untuk "tolak bala" atau penolak mala petaka.
"Selain sebagai adat acara ini patut dilestarikan karena memberi daya tarik bagi wisatawan. Setiap acara grebeg, baik syawal, maulud, maupun besar yang diadakan Keraton saya selalu ikut," katanya yang mengaku akan menggantungkan kacang panjang yang ia peroleh di atas pintu rumah.
Tepas Keprajuritan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Enggar Pikantoko menjelaskan Grebeg Syawal merupakan perayaan telah selesainya bulan Ramadhan.
Secara historis, menurut dia, lima gunungan berisi hasil bumi yakni Gunungan Wadon, Lanang, Gepak, Pawuhan, dan Bromo merupakan simbol sedekah raja kepada rakyatnya sekaligus wujud rasa syukur raja kepada Allah SWT.
"Grebeg selalu diselenggarakan bersamaan memperingati hari-hari besar Islam. Selain saat Idul Fitri, grebeg juga diadakan saat Idul Adha, serta Maulud Nabi," kata Enggar.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2016