• Beranda
  • Berita
  • Strategi mempertahankan bisnis dari Batik Kultur

Strategi mempertahankan bisnis dari Batik Kultur

22 Juli 2016 19:46 WIB
Strategi mempertahankan bisnis dari Batik Kultur
Pengunjung melihat kain batik "tanah liek" bermotifkan kerbau pedati di rumah batik Inaaya, Padang, Sumatera Barat, Selasa (17/5/20126). Batik khas Minangkabau yang diwarnai menggunakan "tanah liek" (tanah liat) itu ditulis dengan tinta alami dari tumbuh-tumbuhan dan dijual dengan harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah per helainya. (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra)
Jakarta (ANTARA News) - Mempertahankan bisnis yang telah berjalan tidak lebih mudah dari mendirikan bisnis itu sendiri. Dea Valencia, pendiri bisnis Batik Kultur, berbagi strategi untuk orang-orang yang ingin mengikuti jejaknya sebagai wirausaha.

1. Fungsi kontrol. Dea memanfaatkan teknologi barcode agar semua proses bisnis tercatat rapi. Tidak ada yang bisa mencari celah untuk berbuat hal curang.

"Cari orang yang bisa dipercaya hingga kita bisa delegasikan kontrol itu," kata Dea dalam pembukaan Astra Start-Up Challenge di Jakarta, Kamis.

2. Branding. Tentukan target market sejak awal agar bisa menjalankan marketing yang tepat. "Target market saya usia 25-35 tahun, jadi saya pilih Facebook ketimbang Instagram," kata Dea yang telah merambah pasar di luar Indonesia, seperti Norwegia, Jepang, Australia dan Amerika Serikat.

Facebook dianggap lebih populer di kalangan orang-orang yang menjadi target marketnya, sedangkan Instagram lebih disukai mereka yang lebih muda. "Brand image dibangun dari awal, jadi kita harus menjaga terus kepuasan customer," imbuh dia.

3. Jiwa kepemimpinan.

Menjadi bos bukan berarti hanya bisa menyuruh anak buah. Ia harus punya kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi karyawan.

4. Menyejahterakan karyawan. Karyawan adalah aset perusahaan. Tanpa karyawan, bisnis takkan bisa berjalan dengan baik. Dea berusaha memenuhi kebutuhan dasar karyawan agar produksi tak terhambat. "Kebutuhan tempat tinggal dan makan saya sediakan," katanya. "Kalau basic needs mereka terpenuhi, penjahit-penjahit kerjanya juga (dengan hati) tenang," imbuh Dea yang awalnya berbisnis karena ingin mengumpulkan dana untuk biaya S2.

Ia juga selalu mendengarkan saran dari karyawan untuk memperbaiki hal-hal yang belum maksimal.

"Pemimpin tidak boleh merasa pintar sendiri," kata pebisnis yang telah memiliki 85 penjahit ini.

Selain itu, Dea berpendapat pebisnis harus berkontribusi pada masyarakat, seperti memberdayakan warga sekitar dan mereka yang berkebutuhan khusus.

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016