"Dari 32,9 persen responden yang pernah berhubungan dengan pihak kepolisian, 59,8 persen-nya mengaku pernah diminta sesuatu, sementara 36,6 persen mengaku pernah memberikan sesuatu dengan sukarela," ujar Peneliti Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS Arya Fernandes di Jakarta, Selasa.
Arya menyebut jumlah itu lebih tinggi dari instansi pemerintah lain yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan, sekolah negeri, mendaftar menjadi PNS, universitas negeri dan kepengurusan administrasi publik.
Hal ini sejalan dengan penilaian masyarakat yang menganggap program antikorupsi pihak kepolisian tidak efektif.
"Hanya 37,1 persen yang menyatakan efektif, sisanya tidak," tutur Arya.
Faktor-faktor tersebut membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian jatuh, bahkan jauh di bawah kepercayaan publik kepada media massa.
Sebanyak 45,3 persen masyarakat menyatakan percaya terhadap polisi, sementara media massa mencapai 55,7 persen.
Adapun lembaga pemerintah yang paling dipercaya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (86,2 persen).
Oleh karena itu, Direktur Eksekutif CSIS Philips J. Vermonte menyarankan agar seluruh lembaga pemerintah menggunakan teknologi dalam menjalin hubungan dengan masyarakat demi memotong jalur birokrasi.
"Itu untuk memutus hubungan antara birokrat dan masyarakat sehingga mengurangi peluang terjadinya korupsi. Saya kira masa depan kita memang harus ke arah sana, apalagi masyarakat saat ini sudah akrab dengan teknologi," kata Philips.
Survei ini sendiri dilakukan CSIS pada 17--29 April 2016 dengan mengumpulkan data melalui wawancara tatap muka dengan kuesioner terstruktur.
Dari 3.900 orang responden, 2.000 di antaranya terdistribusi di 34 provinsi dan 1.900 sisanya disebar lagi di lima provinsi khusus yang merupakan daerah prioritas pencegahan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu Aceh, Banten, Papua, Riau dan Sumatera Utara.
Pewarta: Michael S
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016