"Berdasarkan kajian kami, penanggulangan masalah kesehatan jiwa itu tidak hanya pengobatan dari sisi fisik atau medis, tetapi juga memerlukan rehabilitasi psikiatrik, psikososial, dan sosial agar penderita skizoprenia dapat kembali produktif dan berguna bagi masyarakat setelah dinyatakan sembuh," katanya di Yogyakarta, Rabu.
Pada "Inisiasi Sistem Rehabilitasi Pasien Skizofrenia Terintegrasi", Diah mengatakan bahwa menurut Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) Tahun 2013, prevalensi jumlah penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang menderita gangguan jiwa berat sebesar 27 persen.
Prevalensi tertinggi di Kabupaten Kulon Progo sebesar 4,67 persen diikuti Kabupaten Bantul 4 persen, Kota Yogyakarta 2,14 persen, Kabupaten Gunung Kidul 2,05 persen, dan Kabupaten Sleman 1,52 persen.
Berdasarkan fakta tersebut dan melihat banyaknya penyandang masalah kesehatan jiwa masih mendapat perlakuan tidak semestinya saat menjalani perawatan dan pengobatan, Pusat KPMAK FK UGM menginisiasi rancangan sistem rehabilitasi terintegrasi.
"Sistem itu merupakan hasil rumusan Pusat KPMAK FK UGM bekerja sama dengan para pemangku kepentingan dan instansi terkait di DIY serta akan diterapkan di wilayah tersebut sebagai pionir dalam tata laksana skizofrenia yang komprehensif," kata Diah.
Ketua Seksi Skizofrenia Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Kusumawardhani mengatakan bahwa skizofrenia adalah suatu kondisi di mana penderitanya mengalami delusi, halusinasi, pikiran kacau, dan perubahan perilaku.
Dalam upaya pengobatan gangguan kesehatan jiwa itu, menurut dia, diperlukan sebuah sistem yang komprehensif dan berkesinambungan hingga akhirnya penderita dapat dinyatakan sembuh dan kembali produktif.
"Sistem tersebut harus terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik sehingga para penderita dan keluarganya dapat dengan mudah mencari informasi dan perawatan yang tepat bagi orang dengan skizofrenia (ODS)," katanya.
Pewarta: Bambang Sutopo Hadi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016