"Saya rasa mungkin tidak lama lagi ada Surat Edaran dari MA yang mengatur pidana korporasi sebagai pelaku korupsi. Sebetulnya banyak yang menikmati keuntungan itu korporasi, kadang-kadang kita tidak berhasil memulihkan kerugian negara itu karena kerugian negaranya dinikmati korporasi. Jadi ini bagaimana caranya supaya kita bisa menarik kerugian negara itu dari sektor korporasi kalau pelakunya itu melakukan tindak pidana atas nama korporasi atau melaksanakan tugas selaku pegawai atau pejabat sebuah korporasi perusahaan," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Selasa.
Alexander menyampaikan hal itu bersama dengan Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala, Dewan Kode Eti Gabungan Pengusaha Alat Kesehatan dan Laboratorium Budi Prasetyo dan Inspektur II pada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Feri Wibisono.
Landasan hukum penggunaan kejahatan korporasi adalah dari pasal 20 No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya (ayat 1). Sedangkan pada ayat 2 disebutkan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oieh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. Tetapi bentuk denda dari kejahatan korporasi hanyalah berupa denda (ayat 7).
"Sebetulnya di Undang-undang Pemberantasan Tipikor yang menyangkut barang biasa itu tidak hanya pribadi tetapi juga korporasi. Korporasi bisa dipidanakan. Memang sejauh ini KPK belum pernah membawa suatu korporasi itu sebagai pelaku pidana korupsi meskipun UU telah membuka peluang itu," ungkap Alexander.
Menurut Alexander, KPK membutuhkan SEMA agar ada kesepahaman dengan MA dan jajaran pengadilan untuk mengatur tata cara pengajuan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
"Nah saya tidak tahu kalau dari kejaksaan mungkin kalau untuk pidana lingkungan sudah sering ya korporasi itu dibawa ke ranah persidangan," tambah Alexander.
Sejauh ini hanya ada satu kasus korupsi korporasi yang berhasil dibawa ke persidangan, yaitu kasus korupsi PT Giri Jaladhi Wana dalam proyek pembangunan Pasar Sentra Antasari yang disidik Kejaksaan Negeri Banjarmasin. PT Giri dihukum membayar Rp1,3 miliar dan hukuman tambahan penutupan sementara selama enam bulan.
"Padahal kalau dilihat dari terdakwanya di KPK itu sektor swasta dengan sektor publik lebih banyak sektor swasta yang kita pidanakan. Korupsi kita itu sebagian besar 90 persen lebih itu karena adanya kolaborasi antara penguasa dengan pengusaha, sekalipun Undang-undang Tipikor kita belum mengatur korupsi swasta, tapi dalam prakteknya kita sudah banyak sekali memproses kalangan dunia usaha swasta, direksi atau pengurusnya, dengan menggunakan UU Tindak Pidana Korupsi," jelas Alexander.
KPK pun mengundang asosiasi dari lima sektor industri yaitu bidang pertanian, minyak dan gas, infrastruktur dan pangan untuk mencari solusi bagaimana mencegah korupsi di sektor swasta.
"Kita mencari solusi bagaimana kalau misalnya ada hambatan dalam pengurusan ke mana harus mengadu. Nah dari situ, nanti di setiap kementerian yang menyangkut sektor-sektor tertentu tadi akan dibentuk semacam pusat pengaduan ketika misalnya pelaku dari sektor kehutanan kesulitan untuk mengurus perizinan. Mungkin nanti di inspektorat di Kementerian Kehutanan akan membentuk semacam satuan tugas atau bentuk lainnya, nah demikian juga di sektor pangan dan di sektor energi," jelas Alexander.
Menurut Alexander, selama ini timbul ketakutan kalangan usaha ketika ada permintaan data oleh aparat berwenang.
"Tidak mudah mereka memberikan data karena mereka merasa periuk nasi saya ada di sini, nanti kalau saya memberikan informasi belum tentu usaha saya lancar dan dipermudah. Mungkin dia merasa kalau saya memberikan informasi dan identitas pemberi informasi itu bocor, malah mempersulit usaha mereka," jelas Alexander.
Sementara komisioner Ombudsman Adrianus Meliala menyatakan bahwa sektor usaha yang merasa dirugikan oleh aparat dapat mengadu ke Ombudsman.
"Ada sektor usaha yang mengadukan kepada kami, aparat-aparat yang memberikan pelayanan yang buruk, menunda-nunda, atau memberikan pelayanan yang tidak etis, bahkan sampai yang kasar, maka keluhan kami tampung. Dan ketika ada indikasi korupsi maka kerja sama ini akan lebih memudahkan kami melemparkannya kepada pihak-pihak terkait dalam hal ini entah itu kepada kepolisian maupun KPK sehingga dukungan kepada dunia usaha terbebas dari layanan buruk aparat itu bisa terealisir," kata Adrianus.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016