• Beranda
  • Berita
  • Turki kecam Amerika Serikat dan Eropa seusai pertemuan Erdogan-Putin

Turki kecam Amerika Serikat dan Eropa seusai pertemuan Erdogan-Putin

10 Agustus 2016 02:00 WIB
Turki kecam Amerika Serikat dan Eropa seusai pertemuan Erdogan-Putin
Presiden Turki, Tayyip Erdogan, berbicara dalam konferensi pers setelah rapat Dewan Keamanan Nasional dan kabinet di Istana Presiden Turki, di Ankara, Turki, Rabu (20/7/2016). (REUTERS/Umit Bektas)
Istanbul, Turki (ANTARA News) - Turki, Selasa, mengancam membatalkan perjanjian tentang pendatang dengan Uni Eropa dan memperingatkan akan peningkatan rasa benci Amerika Serikat akibat ketiadaan kesetiakawanan dari Barat terkait upaya kudeta.

Pernyataan keras itu disampaikan sejumlah pejabat tinggi Turki di tengah kunjungan Presiden Turki, Tayyip Erdogan, ke Rusia untuk bertemu dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin.

Sejak upaya kudeta, yang berakhir dengan kegagalan, pada 15 Juli, Turki melancarkan pembersihan besar-besaran dalam tubuh militer, lembaga negara, universitas, sekolah, serta media. Kebijakan itu dikecam negara Barat.

Menteri Hukum Turki, Bekir Bozdag, menyatakan, rasa benci Amerika Serikat hanya bisa reda jika Washington memulangkan Fethullah Gulen, ulama Turki tinggal di Amerika Serikat, yang dituding menjadi dalang kudeta itu.

"Ada rasa benci Amerika Serikat, yang besar, di Turki, yang bisa berubah menjadi kebencian. Semuanya di tangan Amerika Serikat untuk menghentikan hal ini," kata Bozdag, kepada stasiun televisi Anadolu.

"Keputusan ekstradisi Gulen adalah hal politis. Jika tidak, makan Turki akan dijadikan korban untuk seorang teroris," kata dia.

Dalam menanggapi permintaan ekstradisi itu, Washington menegaskan bahwa Ankara harus memberikan bukti kuat keterlibatan Gulen dalam percobaan kudeta tersebut.

Hubungan memburuk Amerika Serikat dengan Turki juga terjadi pada Uni Eropa. Beberapa negara anggota kelompok itu bereaksi keras atas pembersihan dari Ankara.

Denmark menyebut tindakan Erdogan "tidak demokratis" sementara Austria mengancam akan menghalangi masuknya Turki ke Uni Eropa jika negara tersebut kembali memberlakukan hukuman mati.

Dalam menanggapi hal tersebut, Menteri Urusan Uni Eropa, Omar Celik, Selasa, mengatakan, mereka akan berhenti menerapkan kesepakatan tentang pendatang dengan Uni Eropa jika kelompok tersebut tidak memberi kejelasan kapan warga Turki dapat mengunjungi Eropa tanpa visa.

Dalam wawancara dengan televisi Haberturk, Celik menyatakan, permintaan Uni Eropa agar Turki mengubah undang-undang terorisme--yang menjadi kunci masuknya Ankara ke dalam blok--justru akan membahayakan keamanan benua tersebut.

Kesepakatan migran Uni Eropa dengan Turki telah berhasil mengurangi jumlah pengungsi dan pendatang ke benua biru yang pada tahun lalu mencapai 1,3 juta orang.

Di tengah buruknya hubungan dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat, Turki berhasil mendapatkan sekutu baru di Rusia. Pejabat tinggi Ankara menyebut pertemuan Erdogan dengan Putin pada Selasa berlangsung dengan "sangat positif."

Putin mengaku berharap hubungan kedua negara kembali normal setelah sempat tegang akibat insiden penembakan pesawat tempur Rusia di kawasan perbatasan Suriah oleh Turki pada November tahun lalu.


Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016