"Saya sama sekali tidak setuju kalau koruptor tidak dihukum, justru saya ingin koruptor dihukum berat," ujarnya saat menjadi pembicara bedah buku berjudul "Sistem Politik Indonesia : Kritik dan Solusi Sistem Politik Efektif" karya Ubedilah Badrun di Universitas Negeri Jakarta, Kamis.
Wacana tersebut dianggapnya mengerdilkan upaya penegakan hukum di Indonesia, terlebih setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan sebanyak 361 kepala daerah di Indonesia tersandung kasus korupsi.
Korupsi yang dilakukan 343 bupati/wali kota dan 18 gubernur di Indonesia, umumnya terkait praktik suap dalam hal perizinan sekaligus sebagai upaya memperkaya diri dan melanggengkan jabatan.
"Ini kan artinya bangsa kita dipimpin oleh koruptor," tutur Mahfud.
Sebelumnya, mantan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Panjaitan mengatakan pemerintah sedang mengkaji kebijakan untuk tidak memenjarakan terpidana korupsi dengan pertimbangan kondisi lembaga-lembaga pemasyarakatan (lapas) yang sudah tidak memadai untuk menerima tambahan narapidana dalam jumlah besar.
"Kalau dia (koruptor) terbukti merugikan negara, kita bisa hukum dengan mengembalikan uang negara, ditambah penalti dan pemecatan dari jabatannya. Kalau masuk penjara, maka penjara kita bisa penuh nanti," ujar Luhut, Juli lalu.
Jenderal (Purn) TNI yang kini menjabat sebagai Menko Maritim itu mengatakan pemerintah telah membentuk tim pengkaji penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) dan membandingkan praktik hukuman alternatif yang digunakan sejumlah negara terhadap para pelaku tindak pidana korupsi.
Meskipun mengaku pernah tiga kali bertemu dengan Luhut untuk membahas masalah penegakan hukum di Tanah Air, Mahfud menegaskan dirinya tidak turut andil dalam pembahasan tentang kebijakan keringanan hukuman untuk koruptor.
"Saya tidak pernah terlibat dalam pembicaraan seperti itu," tutur guru besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Pewarta: Yashinta Difa P
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016