"Orang-orang kan mikirnya seolah-olah kita mau meringankan (hukuman) koruptor. Cara berpikirnya saya tidak suka, seolah-olah mau bagi-bagi remisi. Padahal kita cuma mau menempatkan sistem (hukum) dengan benar," kata Yasonna saat ditemui di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin.
Dalam rancangan revisi PP tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan itu terdapat salah satu syarat yang akan dihilangkan, yakni ketentuan mengenai "justice collaborator" (JC).
Merujuk pada UU Mahkamah Agung dan UU Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, rencana penghapusan ketentuan tentang JC telah sesuai dengan sistem peradilan di mana JC seharusnya ditempatkan dalam proses peradilan, bukan di dalam PP.
"Yang membuat PP 99/2012 ini tidak mengerti soal peradilan. Kalau JC ditaruh di PP maka akan berbeda dengan sistem peradilan kita," ungkap Yasonna.
Terkait rencana revisi PP tersebut, Menkumham menegaskan tidak akan ada upaya jual beli status JC di Kemkumham karena ranah pemberian JC menjadi wewenang kejaksaan dan kepolisian.
Yasonna juga memastikan pemberian remisi untuk pelaku kejahatan berat akan diputuskan secara ketat melalui pembahasan dengan lembaga hukum terkait, misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Badan Narkotika Nasional (BNN).
"Kami akan bahas satu-satu, orang ini pantas tidak dapat remisi. Jadi tidak sembunyi-sembunyi (pemberian remisinya)," tuturnya.
Sebelumnya, KPK dan perwakilan koalisi masyarakat sipil menolak pemberian remisi kepada koruptor karena dinilai menghilangkan efek jera yang ingin ditanamkan lembaga antirasuah tersebut, dan berpotensi menguntungkan 3.662 terpidana korupsi.
Bahkan, KPK sedang merancang hukuman bagi koruptor dengan efek jera yang lebih besar dibandingkan produk hukum yang ada saat ini.
"Selain hukuman badan, kami juga sedang memikirkan langkah agar kerugian negara dikembalikan, beserta denda," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo.
Pewarta: Yashinta DP
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016