Salah satu penggagas Jazz Gunung Sigit Pramono mengaku bahwa amfiteater yang terdapat di kompleks Jiwa Jawa, pegunungan Bromo, merupakan panggung jazz yang tertinggi di Indonesia atau bahkan di dunia, yang secara geografis terletak di ketinggian lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl).
"Banyak pertunjukan jazz yang lebih tinggi dari Jazz Gunung di penjuru dunia, namun, untuk amfiteater ruang terbuka dan sajian pengemasan di luar ruang, ini adalah yang tertinggi pada saat ini, yang lain paling hanya tempatnya saja," kata Sigit.
Secara kualitas, amfiteater luar ruang di pegunungan Bromo ini memang istimewa, karena selain bisa langsung merasakan udara dinginnya Bromo yang pada malam hari bisa mencapai delapan derajat celcius, kemudian pemandangannya juga alami, yaitu berlatarkan pegunungan di pinggir tebing.
Tata tempat duduk penonton juga diperhitungkan secara detail, agar seluruh penikmat jazz yang hadir dapat menyaksikan tanpa terganggu penonton lainnya.
Dari tribun festival atau terjauh dari panggung utama, pemandangan langsung kepada artis yang tampil juga tidak terganggu, karena desain tata letak tempat duduk seperti format terasering atau berundak memutar letter U, sehingga bisa terlihat dari segala sisi. Selain itu, untuk konsep pementasan musik, tentu saja kualitas suara menjadi hal utama selain dari estetika visual.
Dengan berada di alam terbuka, menjadi tantangan sendiri bagi teknisi suara (soundman) untuk menata suara musik agar tidak membal ke udara. Pada acara Jazz Gunung 2016, Sigit mengatakan telah bekerja sama dengan para teknisi sound profesional untuk menggarap acoustic building dari amfiteater tersebut.
"Saya sudah bekerja sama dengan para teknisi suara terbaik, sehingga pasti mereka tahu harus diolah seperti apa tempat seperti ini untuk menghasilkan sajian terbaik," tutur Sigit yang juga menyukai dunia fotografi tersebut.
Benar saja, panggung yang berada di tengah letter U di-persenjatai dengan sound out yang mumpuni. Speaker atau pengeras suara berkonsep rigging tower di kanan-kiri telah disiapkan untuk bisa mencakup seluruh area amfiteater. Rigging tower atau speaker gantung berlapis 10 level ditata menghadap ke kanan-kiri dengan ditunjang dua kali delapan buah subwoofer di bawah kedua rigging.
Untuk menyiasati membalnya suara dan mendapat ketebalan suara yang tepat hingga ke belakang tempat duduk penonton, maka dipasang sound monitor di setiap tingkatan tempat duduk, dari mulai kursi terdepan, hingga di antara terasering tribun festival, sehingga suara terdengar tebal dan akurat, tidak menggaung.
Hal itu juga untuk menjaga kualitas suara, baik dari depan panggung, hingga ke belakang tribun festival.
Beberapa musisi internasional yang tergabung dalam kelompok musik Dwiki Dharmawan Jazz Connection, di antaranya adalah musisi Australia bahkan mengakui kemegahan dari amfiteater di Jazz Gunung beserta dengan tata letak suaranya yang mumpuni. Tapi Sigit juga menekankan bahwa untuk mendapatkan kulitas pementasan terbaik, ia harus membatasi jumlah penonton, mengingat tempatnya belum luas.
"Saya hanya membatasi maksimal sebanyak 2.000 penonton, agar semua bisa merasakan kualitas yang terbaik dari pertunjukan," jelasnya.
Pentas Merdeka di Puncak Jazz Raya
"Pentas Merdeka di Puncak Jazz Raya" merupakan slogan dari Jazz Gunung Bromo 2016. Slogan tersebut dibuat oleh salah satu penggagas Jazz Gunung, dan juga seniman Djaduk Ferianto. Sajian jazz kali ini sedikit berbeda dari tahun sebelumnya, karena bertepatan juga dengan bulan kemerdekaan Republik Indonesia, yang diselenggarakan dua hari setelah tanggal kemerdekaan yaitu 19 Agustus 2016.
Jazz gunung sendiri digagas oleh tiga orang Sigit Purnomo, Butet Kertaradjasa dan Djaduk Ferianto. Kali ini sajian jazz lebih mengedepankan musik-musik yang berakar dari jazz, namun tidak memiliki patern jazz murni.
Selain musik, pementasan di amfiteater tersebut disempurnakan oleh dekorasi yang selalu berciri khas bambu. Konstruksi dekorasi bamboo jazz gunung 2016 dibuat oleh Novi Kristianti, seorang seniman berasal dari Yogyakarta. Tema desain bamboo memiliki makna bersyukur, yang memiliki bentuk seperti kerucut terbalik dengan lengkungan seperti kedua tangan yang menengadah ke atas.
Kemudian, ketika malam tiba dukungan tata cahaya yang berganti-ganti warna sesuai hentakan musik membuat suasana dramatis panggung lebih hidup.
Bintang yang ditampilkan tidak sembarangan, musisi dengan kualitas dan jam terbang yang mumpuni memenuhi line up daftar penampil.
Selama dua hari penikmat musik disuguhi penampilan dari musisi ternama dari dalam dan luar negeri, di antaranya Dwiki Dharmawan Jazz Connection, Ermy Kullit. Ian Scionti Trio, Shaggy Dog, The Groove, Ring of Fire featuring Bonita dan Ricad Hutapea, Penny Candarini, Samba Sunda dan Nial Djuliarso trio featuring Arief Setiadi.
Beberapa pementas yang tampil sering mendapatkan prestasi di luar negeri atau bahkan mendapatkan ilmu tentang komposer musik di luar negeri. Seperti Nial Djuliarso, pianis yang tengah bersiap menempuh perkuliahan baru yang fokus pada musik di New York, Amerika Serikat.
Selanjutnya Penny Candarini, seorang komposer dan seniman yang aktif mengajar di ISI, serta sering meramaikan pentas tampil di Eropa dan Asia.
Lebih lanjut, Djaduk Ferianto menjelaskan bahwa tujuan dari mengumpulkan serta mengkurasi dari para penampil tersebut adalah untuk menunjukkan betapa kayanya Indonesia memiliki seniman yang andal dan mumpuni dengan tingkat internasional namun kurang diketahui oleh masyarakat.
Pewarta: Afut Syafril
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016