Mementaskan cerita Batak adalah keinginan yang sudah lama bercokol di hati penulis naskah dan sutradara Horas Amang, Ibas Aragi.
"Panggung Teater sekarang didominasi oleh budaya Betawi, Bali, China, Jawa, Sunda. Batak itu akrab di tengah masyarakat tapi enggak pernah kita lihat pementasannya," kata Ibas kepada ANTARA News, ditemui sebelum pementasan, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (28/8).
Mengalir darah Batak, tak lantas membuat dia dengan mudah membuat pementasan bertema budaya Batak. Sebaliknya, dia mengaku sempat buntu ide.
Tidak memahami betul bahasa batak, ditambah lagi warna musik Gondang yang hanya ditemui di pesta-pesta pernikaham Batak, belum lagi soal marga dan nama, ditambah pula dengan peraturan adat, membuat Ibas mengubur niatnya.
Untungnya, niatan tersebut tidak dia kubur terlalu dalam. Dia lalu terinspirasi dari drama Korea yang ceritanya amat dekat dengan pergumulan masyarakat modern dan universal dimana setiap orang di dunia berpotensi mengalaminya.
"Tapi, saya enggak mau legenda Batak, saya mau cerita yang sekarang, yang realita," ujar Ibas.
Kemudian digelarlah proses adaptasi, pencarian informasi, observasi dan pendekatan-pendekatan musik dan tari.
Ibas juga harus memutar otak untuk merangkum 53 episode dalam 3 jam pementasan, dan melatih 45 orang kru yang sebagian besar bukan orang batak.
"Saya ambil inti-intinya saja, kalau serial tv pasti dikembangkan kiri kanan," kata dia.
"Kesulitannya pemainnya justru karena 95 persen bukan orang Batak, tapi harus jadi orang Batak. Jadi, kami harus mempelajari budaya Batak dulu, kemudian mempelajari logat Batak, itu yang paling susah," sambung dia.
Meski menyadur cerita dari serial televisi drama Korea What Happens to My Family?, tak ada "bau" negeri ginseng di dalamnya.
Pementasan dibuka dengan tarian adat Batak. Saat layar hitam diangkat, nampak setting dibuat "dekat" dengan budaya batak seperti ada meja dengan ukiran Batak, kain ulos dan tanduk kerbau khas Toba yang dipajang di dinding rumah.
Cerita tidak bersifat kronolgis, yang berarti bahwa sutradara tidak memulai dari awal, melainkan dari tengah kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Cerita pementasan juga memiliki sub-subplot yang mengisahkan perjalanan hidup, permasalahan dan konflik para tokoh utama.
Perjalanan kisah para tokoh dikemas apik oleh sang sutradara. Panggung yang terbilang lebar dimanfaatkan Ibas untuk menceritakan kisah para tokoh.
Cerita juga diracik dengan gurauan khas orang Batak, dan dibumbui dengan candaan yang lekat dengan kehidupan sehari-hari sehingga sukses mengundang tawa dari bangku penonton.
Pementasan "Horas Amang-Tiga Bulan untuk Selamanya" sendiri berkisah tentang sebuah keluarga. Seorang Ayah tunggal, Amang Binsar Sagala, membesarkan tiga orangnya anaknya Tarida, Maruli dan Pardamean, dan tetap mencintai anak-anaknya meski mereka sangat egois.
Amang pun menggunakan cara yang tidak biasa untuk menunjukkan rasa sayang kepada anak-anaknya dan memperbaiki sifat anak-anaknya.
"Berusaha menggambarkan perjuangan orang tua untuk berbuat yang terbaik untuk anak-anaknya walaupun dia sudah diambang kematian. Dalam waktu tiga bulan dia harus meninggalkan warisan bukan berupa harta tapi warisan kekayaan jiwa," ujar Ibas.
"Pesan yang mau disampaikan adalah jadilah anak yang berbakti, dan jadilah orang tua yang total dalam mendidik anaknya," tambah dia.
Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016