Di berbagai negara, umat Islam menyambut datangnya Idul Adha dengan penuh suka cita, kegembiraan sambil mengagungkan kebesaran Allah. Dengan cara itu umat Muslim dapat menyadari sepenuhnya bahwa mereka kecil di hadapan Sang Pencipta Alam Semesta.
Manusia memang patut menyadari bahwa dirinya sebagai makhluk yang dhaif (dhafu/lemah) dan hina di hadapan Allah SWT; dzat yang Maha Mulia, Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana.
Sebagai makhluk yang dhaif, makhluk yang hina di hadapan Allah, maka manusia hanya dapat berharap dan memohon kasih sayang-Nya, semoga perjalanan hidup di dunia ini hingga akhirat kelak mendapat keselamatan dan kebahagiaan. Bahkan, berharap agar Allah menjauhkan dari azab siksa-Nya yang amat pedih.
Dan, bersamaan dengan Idul Adha, pada 9 Dzulhijah, berjuta-juta kaum muslimin menunaikan Ibadah haji. Mereka berada di Padang Arafah, Mekkah. Mereka berasal dari berbagai negara yang berlainan bahasa dan warna kulitnya, tetapi mereka berpakaian yang sama (ihram) dengan tujuan yang sama pula, yakni hanya untuk memenuhi panggilan Allah SWT.
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (QS. Al Hajj : 27).
Di bawah terpaan terik matahari menyengat, berjuta-juta manusia dari berbagai bangsa yang berbeda bahasa, warna kulit, kebudayaan maupun pola berpikirnya, mereka berkumpul seolah-olah sedang mengadakan suatu apel akbar.
Tidak ada perbedaan antara raja dan rakyatnya. Tak ada perbedaan antara kaya dan miskin dan tak ada pula perbedaan antara satu kaum dengan kaum lainnya. Mereka itu sama-sama menjadi tamu Allah yang sedang bertaqarrub, sedang mengakui kelemahan dirinya di hadapan Allah.
Keadaan semacam inilah yang menggambarkan hari berkumpulnya segenap manusia di padang mahsyar kelak mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya.
Idul Adha juga disebut sebagai hari raya kurban. Sebab, pada hari itu dan tiga hari sesudahnya umat Islam disunahkan menyembelih hewan kurban yang dagingnya dibagi-bagikan kepada kaum fakir miskin.
Mengenai kurban itu, umat Islam diingatkan akan sejarahnya dua kekasih Allah, yaitu Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail. Ayah dan anak itu dapat menyelesaikan dengan baik perintah Allah yang sangat berat. Nabi Ibrahim AS diperintahkan untuk menyembelih putra kesayangannya dengan tangan sendiri.
Allah yang Maha Mengetahui akan segala rahasia yang tersimpan di dalam hati kedua insan kekasih-Nya itu, telah menggantikan keikhlasan hati mereka dengan seekor domba yang besar.
Peristiwa inilah yang akhirnya menjadi syariat Islam, untuk mengurbankan harta yang disayanginya berupa hewan kurban kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepda para fuqarah dan masakin.
Anjuran menyembelih kurban ini telah ditegaskan oleh Allah melalui firman-Nya: Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, maka dirikanlah sholat karena tuhanmu dan berkurbanlah. (QS. Al Kautsar : 1-2). Dalam hal ini Rasullullah saw menekankan lewat sabdanya: Barang siapa yang telah mempunyai kemampuan untuk berkurban, tetapi tidak mau berkurban, maka janganlah dekat-dekat tempat sholatku.(HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Teladan Nabi Ibrahim
Keteguhan Nabi Ibrahim AS dalam melaksanakan perintah Allah sesungguhnya merupakan teladan bagi umat manusia, betapa beliau telah sanggup dan rela berkurban apa saja demi mendapatkan Ridho Allah.
Begitu pula Nabi Ismail AS, patutlah diwarisi sebagaimana telah pula diwarisi oleh para pejuang Tanah Air pada masa lalu. Mereka telah merelakan harta benda, jiwa dan raga demi menegakkan keadilan dan kebenaran, di persada nusantara ini.
Mereka merelakan semua miliknya demi cita-cita kemerdekaan negara dan bangsa, sampai nyawa pun melayang dan mereka ini terbujur di atas pusara sebagai kusuma bangsa, sebagai syuhada yang telah melukiskan sejarah patriotis dan herois bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Hal itu dapat terjadi karena adanya spirit ibadah kurban yang memiliki kandungan nilai sosial kemasyaraatan. Kurban sarat dengan muatan-muatan sosial, punya peran besar dalam mengikis jurang antara yang kaya dan miskin.
Ibadah kurban dilaksanakan pada Idul Adha yang jatuh setiap 10 Dzulhijjah dan tiga hari setelahnya atau pada hari-hari tasyrik. Kebiasaan berkurban bagus dilestarikan. Sebab, berdampak positif dalam upaya mengikis kesenjangan di tengah masyarakat.
Selayaknya tradisi kurban tersebut dijadikan kebudayaan bagi umat Islam sehingga setiap orang yang memiliki kemampuan menjadi seorang yang bijak, adil dan taat agama.
Kurban dan keadilan
Ibadah kurban sarat dengan muatan keadilan. Yang kaya harus ingat dengan titipan rizki dari Allah SWT dengan menginfakkan sebagian hartanya kepada yang miskin. Sedangkan yang miskin akan merasakan haknya terpenuhi dan tertolong untuk bisa menyambung hidup. Itulah esensi ajaran Islam yang menyerukan keadilan dalam kehidupan.
Dalam kegiatan ibadah kurban itu terdapat tiga aspek yang menjadi dasar diwajibkan berkurban bagi umat muslim yang sudah mampu walau hanya membeli seekor kambing, yakni: pendidikan, sosial dan keimanan.
Jelasnya, dari sisi pendidikan kurban melatih umat muslim saling memberikan ilmu bagi keturunannya dengan giat melaksanakan ibadah. Dari aspek sosial, daging kurban dibagikan kepada fakir miskin sementara ujian keimanan seorang muslim diukur dari keihklasannya menyalurkan harta benda.
Berkurban tidak hanya dapat dilakukan sendiri, namun dapat juga dilakukan secara bersama sehingga beban itu tidak dirasa berat.
Pesan pokok dari penyembelihan binatang kurban ini, yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial.
Disebut kesalehan ritual karena umat Islam dan mampu itu melaksanakan perintah Tuhan yang bersifat transedental. Kurban juga disebut sebagai kesalehan sosial karena mempunyai dimensi kemanusiaan.
Bentuk solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang respek terhadap fakir-miskin dan kaum dhuafa.
Dengan disyariatkannya kurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama.
Melaksanakan ibadah kurban tak semata ibadah yang berhubungan dengan Sang Pencipta, namun lebih bermakna sosial. Hanya sedikit dari orang banyak yang sadar. Hanya sedikit dari orang yang sadar itu yang mau berjuang. Dan hanya sedikit dari yang berjuang itu yang mau berkurban.
Sejatinya, pengorbanan sesungguhnya bukan hanya harta benda, melainkan juga jiwa, raga, hati dan pikiran yang semata-mata karena Allah. Seorang yang beriman akan memberikan sesuatu yang paling dicintainya kepada Allah SWT, seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim.
Karena itu, ibadah kurban perlu dikembangkan sebagai budaya sehari-hari untuk mewujudkan harmoni dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Oleh Edy Supriatna Sjafei
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016