• Beranda
  • Berita
  • PON 2016 - Menyelamatkan maskot PON dari kepunahan

PON 2016 - Menyelamatkan maskot PON dari kepunahan

19 September 2016 13:02 WIB
PON 2016 - Menyelamatkan maskot PON dari kepunahan
Pengunjung mencoba berinteraksi dengan seekor Surili Jawa (Presbytis comata) di Kebun Binatang Bandung, Jawa Barat, Minggu (18/9). Primata endemik Jawa Barat yang keberadaannya terancam punah tersebut dipilih Pemprov Jabar menjadi maskot PON XIX Jabar. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww16.)
Bandung (ANTARA News) - Surili barangkali tidak seterkenal lutung dengan cerita "Lutung Kasarung"-nya, atau bahkan tidak setenar hewan seordo-nya, orang utan, namun primata itu mendapat kebanggaan tersendiri karena dipilih sebagai maskot Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX/2016 di Jawa Barat.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat meresmikan hewan dengan nama latin presbytis comata itu sebagai maskot PON XIX karena kelincahan dan sifatnya yang hidup berkelompok.

Pada 4 April 2016, Wakil Gubernur Jawa Barat, Dedi Mizwar pun "melantik" surili sebagai maskot perhelatan kompetisi olahraga empat tahunan itu di Gedung Sate, Bandung.

Dedi Mizwar menyerahkan boneka surili yang dijuluki "Lala" dan "Lili" kepada Walikota Bandung Ridwan Kamil serta beberapa atlet dan perwakilan media di Jawa Barat.

PB PON XIX dan Peparnas XV pasti tidak sembarang pilih menjadikan surili sebagai maskot. Menurut data dari IPB, monyet dewasa yang rata-rata memiliki ukuran dari kepala hingga tubuhnya sepanjang 430-595 milimeter dengan panjang buntut 560-724 milimeter tersebut memiliki gerakan yang lincah.

Tubuh surili didominasi oleh bulu berwarna abu-abu di bagian punggung dan bulu warna putih di bagian dada hingga ke bokong.

Muka surili tampak seperti orang tua yang memiliki jenggot putih dengan kantung mata yang besar karena dikelilingi corak warna putih di bagian matanya.

Primata yang menyukai daun dan buah tersebut cenderung banyak menghabiskan waktu hidupnya di kanopi-kanopi hijau hutan yang terletak di Jawa bagian barat.

Penunjukan surili sebagai maskot PON XIX juga ditujukan untuk mempromosikan perlindungan bagi hewan tersebut yang telah ditetapkan oleh pemerintah RI lewat SK Menteri Pertanian No. 247/1979, UU RI No. 5/1990, SK Menteri Kehutanan No. 301/1991, dan PP RI No. 7/1999 dengan statusnya yang sudah terancam punah.

Surili diketahui aktif pada siang hari atau "diurnal" dan beberapa ditemukan di pepohonan di wilayah Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan Situ Lembang serta beberapa di Situ Patenggang, Bandung.


Kompetisi maskot


ANTARA FOTO/Zabur Karuru

Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat sekaligus Ketua PB PON XIX dan Peparnas XV, menjelaskan kepada Antara di Bandung pada Sabtu lalu (17/9) bahwa dirinya yang menunjuk surili menjadi maskot kegiatan setelah membandingkan dengan dua finalis lainnya.

Aher, sapaan akrab Gubernur Jawa Barat, mengaku memilih surili dibanding rivalnya, macan dan domba garut, karena aspek-aspek estetis dan statusnya yang dilindungi.

"Alasannya saya bilang pertama surili itu primata yang lincah, primata yang lengkingannya menarik bunyinya, primata yang bersekutu atau berkelompok dalam konteks kemanusiaannya," ujar Aher.

Selain itu, surili juga merupakan hewan endemik asli Jawa Barat, sehingga melengkapi poin kemenangan dari dua kompetitornya.

Kendati demikian, jumlah hewan tersebut menurut Aher terhitung hanya tinggal 1.500 ekor.

Perhelatan PON XIX pada 2016 menjadi pengingat sekaligus penguatan bagi perlindungan primata itu setelah dua ekor surili bernama Lala dan Lili dilepas-liarkan pada 7 September 2016 lalu di hutan lindung Situ Patenggang, Bandung Selatan.

"Di situ ada hutan Patenggang, hutan konservasi, hutan alam dan tidak ada kerusakan apa pun, cukup bagus," jelas Aher.

Dengan bertambahnya dua surili tersebut, total populasi surili di Situ Patenggang menjadi 42 ekor.


Upaya konservasi


Seekor surili juga dapat ditemui di Kebun Binatang Bandung yang terletak di daerah Coblong, Kota Bandung.

Primata yang dinamakan "Karim" oleh pengelola KBB Tamansari menempati kandang berukuran sekitar 5X5 meter persegi.

Karim merupakan surili berumur 13 tahun berkelamin jantan.

Menurut Kepala Humas Kebun Binatang Bandung, Sudaryo, terdapat dua surili lainnya yang salah satunya bernama Dona dan berjenis kelamin betina.

Kebun Binatang yang dikelola oleh Yayasan Margasatwa Tamansari itu sedang menyiapkan kandang baru untuk kedua surili yang masih berusia enam tahun tersebut.

Keberadaan surili di kebun binatang Bandung juga ditujukan untuk pengetahuan dan pendidikan bagi siswa-siswi sekolah yang ingin mengenal surili, si maskot PON XIX.

Sudaryo juga berharap dengan dijadikannya surili sebagai maskot, maka warga yang masih memiliki atau memelihara primata itu dapat menyerahkannya ke balai konservasi, seperti kebun binatang.

"Jadi kesadaran masyarakat dan pada usia ketika masih satu tahun diserahkan kepada kami karena kami memiliki izin dari Kementerian Kehutanan sebagai lembaga konservasi," ujar Sudaryo kepada Antara pada Minggu (18/9).

Pihak Kebun Binatang Bandung dapat menerima surili untuk dikonservasi setelah dilakukan pengecekan kesehatan terhadap satwa tersebut.

Hal itu dilakukan agar jangan sampai hewan yang baru dikonservasi menularkan penyakit ke satwa lain.

Setelah hewan dikarantina selama satu bulan, maka satwa baru dapat ditempatkan di kandang peragaan di Kebun Binatang yang pada 1933 dirintis oleh budayawan Raden Ema Bratakusuma.

Semoga dengan terpilihnya surili dari 169 satwa Indonesia yang diusulkan menjadi maskot PON XIX dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya melindungi primata itu untuk tetap mendapatkan hak di habitatnya.

Perambahan manusia ke habitat asli surili juga dirasa menjadi penyebab berkurangnya populasi surili di Jawa Barat.

Dengan nilai luhur tradisi dan karakter masyarakat Jawa Barat "Cageur, Bageur, Bener dan Pinter", PON XIX mendorong seluruh masyarakat Indonesia untuk menjaga lingkungan alam dan membantu konservasi primata surili agar tidak hanya menjadi sekedar cerita bergambar bagi anak-cucu bangsa di masa depan.

 

Oleh Bayu Prasetyo
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2016