"Hari ini mulai meningkat, mungkin karena sudah ada cabang olahraga yang menyelesaikan pertandingannya," kata Hardi, salah seorang pedagang maskot PON di Bandung, akhir pekan ini.
Surili, diambil dari sebutan salah satu primata dengan nama latin "presbytis comata" itu, jika tampil sepasang sebagai maskot PON, namanya "Lili dan Lala".
Harga maskot surili dijual berkisar antara Rp80 ribu hingga Rp100 ribu. "Ya harga penawaran dulu, bisa ditawar," kata Hardi si penjual.
Surili, maskot PON XIX itu adalah karya Toni Suhendar, karyawan asal Kota Bandung. Dia memenangi lomba desain Maskot PON XIX yang diumumkan pada Maret.
Tono Suhendar berharap dengan ditampilkan hewan Surili sebagai maskot PON XIX bisa lebih mengenalkan hewan tersebut kepada masyarakat.
"Surili ini hewan hampir punah. Sangat cocok kalau ambil itu sebagai ikon Jawa Barat yang harus diperkenalkan dan diketahui melalui PON," kata Toni ketika itu.
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menjamin bahwa pemenangan Logo dan Maskot PON XIX benar-benar berdasarkan subjektivitas dewan juri yang melibatkan dinas pemda, pakar seni rupa, budayawan, KONI Jabar dan pakar media.
"Maskot dan Logonya sudah sangat mempresentasikan Jawa Barat. Khusus untuk Maskot PON XIX, saya yakin ini bisa juga menjadi ajang kampanye untuk melindungi keberadaan hewan Surili ini agar tetap lestari," kata Heryawan.
Surili sejak 1979 ditetapkan pemerintah sebagai hewan terancam punah. Kini, hewan dengan nama latin "presbytis comata" itu dijadikan maskot PON XIX karena kelincahan dan sifatnya yang hidup berkelompok.
Menurut data dari IPB, monyet dewasa yang rata-rata memiliki ukuran dari kepala hingga tubuhnya sepanjang 430-595 milimeter dengan panjang buntut 560-724 milimeter tersebut memiliki gerakan yang lincah.
Tubuh surili didominasi oleh bulu berwarna abu-abu di bagian punggung dan bulu warna putih di bagian dada hingga ke bokong.
Muka surili tampak seperti orang tua yang memiliki jenggot putih dengan kantung mata yang besar karena dikelilingi corak warna putih di bagian matanya.
Primata yang menyukai daun dan buah tersebut cenderung banyak menghabiskan waktu hidupnya di "kanopi-kanopi hijau" hutan yang terletak di Jawa bagian barat.
Surili diketahui aktif pada siang hari atau "diurnal" dan beberapa ditemukan di pepohonan di wilayah Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan Situ Lembang serta beberapa di Situ Patenggang, Bandung.
Ahmad Heryawan, yang juga Ketua Pungurus Besar PON XIX dan Pekan Paralimpik Nasional XV, dalam kesempatan lain kepada Antara bahwa dia memilih surili menjadi maskot dibandingkan dua calon maskot yaitu macan dan domba garut.
"Alasannya saya bilang pertama surili itu primata yang lincah, primata yang lengkingannya menarik bunyinya, primata yang bersekutu atau berkelompok dalam konteks kemanusiaannya," ujar Aher.
Selain itu, surili juga merupakan hewan endemik asli Jawa Barat, sehingga melengkapi poin kemenangan dari dua kompetitornya.
Aher menyebut surili tinggal 1.500 ekor.
Perhelatan PON XIX pada 2016 menjadi pengingat sekaligus penguatan bagi perlindungan primata itu setelah dua ekor surili bernama Lala dan Lili dilepas-liarkan pada 7 September 2016 lalu di hutan lindung Situ Patenggang, Bandung Selatan.
"Di situ ada hutan Patenggang, hutan konservasi, hutan alam dan tidak ada kerusakan apa pun, cukup bagus," jelas Aher.
Dengan bertambahnya dua surili tersebut, total populasi surili di Situ Patenggang menjadi 42 ekor.
Untuk PON XIX/2016 juga, musisi Lia Aprilia membuat lagu "Mang Surili".
"Lagu 'Mang Surili' ini khusus untuk PON XIX/2016, temanya ceria dan diharapkan menjadi spirit PON XIX/2016," kata Lia Aprilia di Bandung, Senin.
Lagu itu diperkenalkan pada peluncuran hitung mundul 666 Hari Menjelang PON XIX/2016.
Selain menjadi cindera mata, dan judul lagu, surili sebagai maskot PON XIX juga hadir dalam perangko.
Logo kujang dan maskot PON 2016 menjadi gambar utama di perangko.
Perangko seri selalu hadir dan sebagai bukti sejarah pada setiap pelaksanaan pesta olahraga tingkat nasional itu sejak PON pertama dilaksanakan.
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016