"Menyatakan terdakwa Damayanti Wisnu Putranti terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan alternatif pertama," kata Ketua Majelis Hakim Sumpeno dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Koruspi Jakarta, Senin.
Vonis hukuman Damayanti lebih rendah dari tuntutan jaksa, yang meminta hakim menjatuhi Damayanti hukuman enam tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan serta pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik.
Majelis hakim yang terdiri atas Sumpeno, Mas'ud, Baslin Sinaga, Titik dan Sigit Herman Binaji tidak memenuhi tuntutan jaksa KPK agar hak Damayanti untuk menduduki jabatan publik dicabut selama lima tahun sejak Damayanti selesai menjalani pidana pidana pokoknya.
"Dalam alam demokrasi masyarakat Indonesia sudah cerdas dalam menggunakan hak pilihnya untuk menentukan pilihannya dalam jabatan publik tertentu baik eksekutif maupun legislatif sehingga majelis berpendapat sebaiknya diserahkan ke masyarakat untuk menilai integritas dan kapasitas calon pejabat publik tersebut," kata Sigit.
Majelis mempertimbangkan pasal 43 Undang-Undang No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia ayat (1), (2), dan (3) yang menyatakan setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum, berhak turut serta dalam pemerintahan, dan dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
"Alasan ketiga, dalam konsideran huruf b UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, HAM adalah hak kodrati manusia yang bersifat universal dan langgeng sehingga harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan karena alasan apapun," kata Sigit.
Ia mengatakan majelis hakim tidak sependapat dengan tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang meminta mencabut hak politik terdakwa dalam perkara ini karena alasan-alasan tersebut karena hukuman penjara yang dijatuhkan kepada terdakwa sudah cukup menjadi pelajaran karakter dan pembinaan mental dan pelajaran berharga sehingga ke depannya terdakwa tidak mengulangi perbuatannya dan memberikan efek jera bagi yang lain agar tidak coba-coba melakukan perbuatan tindak pidana korupsi.
Majelis juga memberikan status kolaborator keadilan kepada Damayanti sesuai dengan surat keputusan Pimpinan KPK No Kep-911/01-55/08/2016 tanggal 19 Agustus 2016.
Terdakwa, menurut hakim, membuka jelas perbuatan rekannya Dessy Ariyati Edwin, Julia Praetyarini dan Abdul Khoir serta mengungkap pihak-pihak yang menerima aliran dana aspirasi seperti Budi Supriyanto.
Ia menjelaskan, terdakwa juga menerangkan skenario pihak-pihak tertentu di Komisi V DPR dan Kementerian PUPR dalam rangka pengesahkan persetujuan perubahan APBN 2016 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dari orang-orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka yaitu Budi Supriyanto, Andi Taufan Tiro dan Amran Hi Mustary.
"Sehingga majelis sependapat dengan JPU KPK bahwa terdakwa patut disematkan status justice collaborator yaitu pelaku yang bekerja sama untuk mengungkap kejahatan yang dilakukan sendiri dan pihak lain," ungkap Sigit.
Suap dari Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir kepada Damayanti ditujukan agar Damayanti mengusulkan kegiatan pelebaran Jalan Tehoru-Laimu dan menggerakkan rekannya sesama anggota Komisi V DPR dari Fraksi Partai Golkar Budi Supriyanto agar mengusulkan kegiatan pekerjaan rekonstruksi Jalan Werinama-Laimu di wilayah Balai Pelaksana Jalan Nasional IX (BPJN IX) Maluku dan Maluku Utara sebagai usulan "program aspirasi" anggota Komisi V DPR sehingga masuk ke dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kementerian PUPR 2016 dan nantinya dikerjakan oleh PT Windhu Tunggal Utama.
Tawaran tersebut pertama datang dari Kepala BPJN IX Amran Hi Mustary pada September 2015 di hotel Le Meredien pada sela-sela Rapat Dengar Pendapat antara Komisi V DPR dan Kementerian PUPR.
Sebagai tindak lanjut dilakukan beberapa kali pertemuan di Hotel Ambhara Jakarta Selatan, Oktober 2015 antara Damayanti, Dessy, Julia, Budi Supriyanto, Amran Hi Mustary, anggota Komisi V dari fraksi PKB Fathan dan Alamuddin Dimyati Rois serta beberapa staf BPJN IX.
Amran menyampaikan adanya bayaran enam persen dari nilai besaran program pembangunan kepada masing-masing anggota Komisi V DPR yang mau mengusulkan program tersebut sebagai "program aspirasinya".
Program aspirasi yang diusulkan adalah pelebaran jalan Tehoru-Laimu milik Damayanti senilai Rp41 miliar yang diberi kode 1E sedangkan rekonstruksi jalan Werinama-Laimu senilai Rp50 miliar dari Budi Supriyanto diberi kode 2D, namun program aspirasi milik Fathan dan Alamuddin tidak terdapat dalam daftar program aspirasi yang dikeluarkan Kementerian PUPR.
Atas tindakan tersebut, Abdul Khoir sebagai rekanan harus mengeluarkan bayaran total delapan persen dari besaran anggaran karena harus memberikan satu persen untuk Dessy dan Uwi yang bertugas mengurus pembayaran uang milik Budi Supriyanto.
Uang 328 ribu dolar Singapura diberikan pada 25 November 2015 oleh Abdul Khoir kepada Damayanti, Dessy dan Julia di restoran Meradelima Kebayoran Baru.
Rincian pembagiannya, 245.700 dolar Singapura untuk Damayanti dan masing-masing 41.150 dolar Singapura untuk Dessy dan Uwi.
Abdul Khoir masih mengeluarkan uang Rp1 miliar pada 26 November 2015 yang diserahkan kepada Dessy.
Uang itu selanjutnya diberikan kepada calon Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi sebanyak Rp300 juta, pasangan calon bupati dan wakil bupati Kendal Widya Kandi Susanti dan Gus Hilmi masing-masing Rp150 juta, Dessy dan Uwi masing-masing Rp100 juta dan Damayanti Rp200 juta.
Selanjutnya uang 404 ribu dolar Singapura diberikan pada 7 Januari di Foodcourt Pasaraya Blok M dari Abdul Khoir ke Uwi sebagai bayaran program aspirasi milik Budi Suriyanto.
Namun Budi hanya diberi 305 ribu dolar Singapura karena sisanya sejumlah 99 ribu dolar Singapura dibagi 3 untuk Damayanti, Dessy dan Uwi.
Atas putusan itu Damayanti dan jaksa KPK menyatakan pikir-pikir selama tujuh hari.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016