Seperti diketahui hutan merupakan sumber bagi barang dan jasa yang beraneka ragam serta dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup manusia. Meskipun pada saat ini pemanfaatan hutan lebih terfokus pada hasil hutan berupa kayu, yang dinilai memiliki nilai usaha yang tinggi meskipun memberikan dampak negatif yang lebih besar. Sedangkan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan masih belum dianggap bernilai ekonomis dalam skala besar.
Dalam kurun waktu dua dekade, luas hutan produksi yang produktif di Indonesia menurun secara signifikan. Pada tahun 1993, terdapat 575 konsesi Hak Pengusahaan Hutan (alam) atau HPH dengan luas areal konsesi seluruhnya mencapai 60,1 juta ha. Namun pada tahun 2013, ada 274 konsesi HPH dengan luas hanya 20,89 juta ha, ditambah 10,1 juta ha Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan jumlah konsesi 254 HTI[1] . Kondisi ini menjadikan indikasi kesenjangan antara kebutuhan industri pengolahan kayu dan kayu yang dihasilkan oleh HPH dan HTI. HPH diklaim hanya mampu menghasilkan 2,5 juta m3/tahun dari target 9,1 jt m3/tahun, sedangkan pada HTI targetnya 25 juta m3/tahun hanya mencapai 6,9 juta m3/tahun (APHI, 2012). Kecenderungan ketidaklestarian pasokan bahan baku industri berbasis kayu di Indonesia menunjukkan terjadinya degradasi hutan dan deforestasi yang cukup besar. Dengan kata lain, laju kehilangan hutan alam di Indonesia tinggi dan target produksi tidak tercapai.
Skema Sertifikasi FSC telah digunakan di 190 juta hektar hutan di seluruh dunia, dan lebih dari 30.000 industri telah menggunakan Sertifikasi FSC dan angkanya meningkat terus di mana peningkatannya mencapai 81% dihitung sejak tahun 2010 dan 26% pengguna Sertifikasi FSC adalah industri di Asia, sedangkan Eropa 52% (Market Info Pack, 2015).
Hartono Prabowo, FSC Indonesia Representative, mengungkapkan, “Dalam hal ini, FSC Indonesia perlu secara aktif memperkenalkan skema sertifikasi FSC bagi industri yang berkaitan dengan penggunaan hasil hutan untuk memastikan bahwa pengelolaan hutan dan proses produksi ramah lingkungan dapat diperrtanggungjawabkan, berkelanjutan, dan dapat ditelusuri asal-usulnya. Selain itu target pengenalan sertifikasi FSC tidak hanya menyasar kepada produsen, tetapi perlu juga dilakukan edukasi kepada konsumen agar menggunakan produk-produk yang baik serta ramah lingkungan. Apalagi bila mengingat bahwa penduduk Indonesia yang telah mencapai 250 juta jiwa merupakan pasar yang besar dan berpotensi menjadi penyebab tidak langsung kerusakan dan kehilangan hutan yang pada akhirnya mengganggu kelestarian hutan dan hasil hutan. Dalam skema sertifikasi, konsumen diberikan kemudahan dalam mengenali produk yang dimaksud, karena setiap produk yang diproduksi oleh produsen yang telah mengantongi sertifikasi FSC maka dapat memberikan label FSC disetiap kemasan produknya”.
Global Market Survey FSC 2014 mengungkapkan bahwa 82% pemegang sertifikat FSC menyatakan mengaku nilai produknya bertambah dengan adanya sertifikat FSC, 85% menyatakan label FSC membantu mengkomunikasikan strategi CSR mereka kepada publik, sedangkan 90% mendapatkan image yang positif dengan menggunakan label FSC. Keunggulan yang dimiliki FSC menyebabkan perusahaan-perusahaan yang masuk dalam daftar Fortune 500 beralih menggunakan dan memproduksi produk berlabel FSC, serta menyatakan komitmennya terhadap FSC (Forest Ethics, 2011; Market Info Pack, 2015; UPM Raflatac, 2016).
Menurut survey yang dilakukan oleh Paper Impact pada tahun 2007, 9 dari 10 konsumen di Eropa lebih memilih kemasan dari kertas karena dipandang lebih ramah lingkungan. Saat ini supermarket besar di Eropa sudah melarang penggunaan kantong plastik belanja bahkan mengenakan pajak penggunaan plastik. Di Indonesia sejak 2015 Pemerintah dan supermarket besar sudah menerapkan kebijakan untuk mengurangi penggunaan kantong plastik belanja. Hal ini menunjukkan penggunaan plastik di dalam sektor ritel dan industri sudah mengalami tekanan. Kondisi ini dapat menjadikan kertas menjadi alternatif yang baik, kemasan kertas memiliki keunggulan kompetitif, terlebih bila kertas yang digunakan memiliki label FSC yang menyatakan kejelasan asal usul bahan baku yang digunakan serta nilai ramah lingkungan dan ramah sosial yang terkandung di dalam label FSC.
Terkait upaya meningkatkan kesadaran konsumen akan produk yang ramah lingkungan dan bertanggungjawab, perlu adanya upaya kegiatan edukasi dan komunikasi kepada masyarakat. Momentum FSC Friday yang merupakan bentuk perayaan produk ramah lingkungan dan bertanggungjawab setiap tahun yang diselenggarakan secara serentak di seluruh dunia, menjadi salah satu program bagi FSC Indonesia untuk melakukan kampanye dan edukasi kepada konsumen secara lebih luas. Di Indonesia acara FSC Friday 2016 diadakan di Grand Indoesia Moulin Rouge – Skybridge Level 5 Jakarta, yang diisi dengan berbagai macam kegiatan seperti pameran dari produk-produk ramah lingkungan, lomba mewarnai bagi anak-anak, story telling, talkshow terkait hutan dan pohon, penampilan musik dari musisi PASTO dan masih banyak lagi.
“Kami berharap dengan perhelatan tahunan FSC Friday ini dapat memberikan edukasi kepada masyarakat dalam format yang ringan dan mudah dicerna sehingga masyarakat lebih mudah untuk memahami apa dan bagaimana memillih produk ramah lingkungan. Tentunya acara ini juga diadakan berkat dukungan penuh dari para mitra FSC yang telah bersama-sama kami dalam memperkenalkan kepada masyarakat dalam memilih produk-produk ramah lingkungan khususnya produk yang telah memiliki Label FSC,” ungkap Hartono Prabowo, FSC Indonesia Representative.
[1]Statistik Kementerian Kehutanan Tahun 2013
Untuk Keterangan Lebih Lanjut Hubungi :
IRcomm
Communications Consultant
Isra Ruddin +62 8788 0074 67
Pewarta: prwir
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2016