Bedanya, di stasiun televisi terlihat betul bahwa acungan jari itu telah disetel sebelumnya. Sementara acungan jari orang-orang itu digerakkan antusiasme mereka untuk menggali informasi lebih lanjut setelah mendengarkan kisah sukses penanganan korban narkoba.
Adalah pemaparan Manajer Program The Mae Fah Luang Foundation (MFLF) Ramrada Ninnad yang memukau perhatian para pengelola lembaga rehabilitasi korban narkoba wakil dari Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) Kemensos itu.
Earth, demikian perempuan bertubuh mungil itu akrab disapa, memaparkan dengan bernas kiprah "Yayasan Ibu Suri" mengubah kehidupan masyarakat di Doi Tung, sekitar 50-an kilometer ke utara dari pusat Kota Chiang Rai, yang sebelumnya merupakan produsen sekaligus pengguna opium menjadi masyarakat yang sangat produktif.
"Beliau (Ibu Suri, Red) percaya tidak ada manusia yang mau menjadi orang jahat, yang ada adalah manusia yang tak punya kesempatan untuk menjadi lebih baik," kata Earth mengutip pernyataan Ibu Suri Srinagarindra, pendiri Thai Hill Crafts Foundation yang kemudian berganti nama menjadi MFLF.
Doi Tung yang berada di dataran tinggi di jantung segitiga emas Thailand, Myanmar, dan Laos ini pernah menjadi produsen utama opium. Sekitar 40 sampai dengan 50 tahun lalu, sebanyak 75 persen opium dunia dipasok dari kawasan seluas 150 kilometer persegi ini.
Namun, sejak 1988, sentuhan MFLF melalui The Doi Tung Development Project perlahan-lahan mengubah daerah dan masyarakat Doi Tung. Kini, Doi Tung merupakan destinasi agrowisata sekaligus pusat kerajinan yang didatangi ribuan wisatawan.
"Kami melihat individu secara keseluruhan untuk menyelesaikan masalah. Intinya, kami membantu mereka supaya mampu membantu dirinya sendiri," tutur Earth.
Saking antusiasnya, wakil-wakil IPWL ini tetap mencecar Earth dengan berbagai pertanyaan meski ia telah menutup pertemuan, setelah sebelumnya meminta maaf dan mengucapkan terima kasih, karena waktu yang disediakan sudah habis dan ia harus menghadiri acara lain.
Untunglah dr Natalina Christanto dari Yayasan Tabina yang menjadi mitra MFLF saat mengerjakan proyek di Lamteuba Aceh bersedia melayani berbagai pertanyaan itu.
"Mereka memang militan, dan kami harus merawat militansi itu," kata Direktur Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kemensos RI Waskito Budi Kusumo yang memimpin langsung rombongan itu.
Menurut Budi, saat ini ada 160 IPWL di bawah Kemensos, terdiri atas 155 milik masyarakat dan lima milik pemerintah. Jumlah yang menurut Budi masih sangat kurang, meskipun ada juga lembaga rehabilitasi lain yang tidak terdaftar sebagai IPWL, mengingat jumlah pengguna narkoba di Indonesia mencapai 5,9 juta.
Dengan kekuatan 160 IPWL itu Kemensos pada tahun 2016 menargetkan bisa merehabilitasi 15 ribu lebih korban penyalahgunaan narkoba. Untuk itu, semangat para pengelola IPWL harus dijaga.
"Memang kunjungan ke MFLF ini tidak bisa disebut studi banding karena jenis dan cakupannya berbeda, tapi setidaknya teman-teman IPWL bisa menangkap rohnya dan memperoleh sesuatu yang berarti dari sini," kata Budi.
Tahun 2015, wakil-wakil IPWL pernah juga diajak mengunjungi sekaligus studi banding di PENGASIH Malaysia, sebuah lembaga nonpemerintah di negeri jiran yang melaksanakan rehabilitasi pecandu narkoba yang didirikan dan dijalankan oleh mantan pecandu.
Di antara IPWL pun ada juga yang dikelola mantan pecandu, dan orang-orang inilah yang disebut Budi memiliki militansi tinggi karena mereka pernah merasakan sendiri derita sebagai pengguna narkoba dan berusaha bangkit untuk hidup yang lebih baik.
Salah satunya adalah Dodi Ramosta Sitepu, Direktur Pusat Rehabilitasi Narkoba Galilea Palangka Raya, yang juga ikut dalam rombongan itu. "Saya dulu pengguna," kata Dodi yang mendirikan Yayasan Galilea pada tahun 2002 bersama teman-temannya sesama bekas pecandu.
Istilah IPWL mungkin terasa kurang akrab di telinga, tetapi istilah inilah yang muncul atas amanah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. IPWL adalah pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah.
Beberapa pondok pesantren yang melayani rehabilitasi pecandu narkoba juga terdaftar sebagai IPWL, misal Ponpes Bahrul Maghfiroh di Malang, Yayasan Ponpes Nurul Jannah Cikarang Bekasi, Ponpes Nurul Ichsan Al Islami Purbalingga, dan Ponpes Suryalaya Tasikmalaya.
Sedangkan yang dimaksud wajib lapor adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh pecandu narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya, dan atau orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur kepada institusi penerima wajib lapor untuk mendapatkan pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Menurut Budi, dalam upaya merawat militansi para perawat korban narkoba ini, Kemensos beberapa kali mengundang IPWL berkumpul dalam ajang rapat koordinasi maupun forum lain. Ia sendiri juga rajin mengunjungi IPWL di berbagai daerah, demikian juga dengan Mensos Khofifah Indar Parawansa.
"Ibu Menteri memang luar biasa. Kami pun terpacu untuk mengimbangi kinerja beliau," kata lelaki berkumis yang juga adik kandung mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Djoko Santoso ini.
Dalam satu kesempatan mengunjungi Yayasan Lingkar Harapan Banua, salah satu IPWL di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pertengahan September lalu, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan bahwa kementerian yang dipimpinnya hanya berwenang menangani di bagian hilir dari persoalan narkoba di Tanah Air.
Menurut dia, yang harus diseriusi dan digiatkan adalah pencegahan di bagian hulu. Di bagian inilah peran masyarakat sangat menentukan. Keluarga, lingkungan RT-RW, dan sekolah harus lebih waspada melakukan pengawasan terhadap anak-anak agar terhindar dari narkoba.
"Saat ini tidak sedikit pihak yang masih fokus dengan urusan di hilir, padahal persoalan hilir itu merupakan dampak dari persoalan di hulu," kata Khofifah.
Oleh Sigit Pinardi
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2016