"Kita tidak boleh terbiasa untuk mendengar ketika Presiden Joko Widodo membangun retorika, standar ganda, dan seakan-akan mengecilkan masalah pelanggaran hukum dan ketidakadilan yang muncul dalam isu HAM," kata Haris dalam konferensi pers "Pernyataan Sikap Kontras Terhadap Dua Tahun Pemerintahan Jokowi-JK" di kantor Kontras Jakarta, Kamis.
Dia mengatakan, terlihat banyak pernyataan Presiden Jokowi bahwa di Indonesia tidak ada praktik diskriminasi kepada kelompok minoritas. "Pernyataan lainnya juga ia lontarkan ketika ia mendukung penuntasan kasus hukum kematian Munir."
Namun, langkah Presiden Jokowi menjadi gamang dan ambigu ketika dokumen berkas penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus kematian Munir menghilang di Kantor Sekretariat Negara.
"Presiden pun tidak mampu menjawab perintah Komisi Informasi Pusat (KIP) untuk mencari dokumen tersebut dan mengumumkan isi dari dokumen kepada publik malah Presiden menunjuk Jaksa Agung HM Prasetyo yang tidak memiliki mandat melacak keberadaan dokumen itu," kata Haris.
Kemarin, Koordinator Peneliti Imparsial Ardi Manto Adiputra juga mengingatkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk menuntaskan kasus pembunuhan Munir.
"Pengungkapan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir adalah salah satu agenda penting dalam penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa reformasi," kata Ardi Manto, kemarin.
Menurut dia, terus berlarut dan tidak kunjung tuntasnya kasus pembunuhan Munir hingga 12 tahun masih memperlihatkan kurangnya komitmen pemerintah dalam penegakan HAM di Indonesia.
Ia menyatakan hasil penyelidikan TPF kasus Munir bentukkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjukkan adaa dugaan kuat pembunuhan Munir melibatkan oknum Badan Intelijen Negara (BIN).
"Hasil penyelidikan itu yang sejatinya bisa menjadi pintu awal untuk membuka dan mengungkap kasus itu, alih-alih ditindaklanjuti tetapi hingga kini juga tidak kunjung dibuka dan diungkap ke publik," ujar Haris.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016