"Rencana tersebut disampaikan Pemerintah melalui usulan revisi UU BUMN," kata Mohammad Hekal pada diskusi "RUU BUMN dan PMN" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Selasa.
Menurut Mohammad Hekal, jika DPR menyetujui pembentukan Badan Super Holding, maka akan semakin sulit melakukan pengawasan terhadap BUMN, padahal BUMN menggunakan anggaran negara.
Politisi Partai Gerindra ini menjelaskan, BUMN saat ini banyak membentuk anak-anak perusahaan yang tidak diatur dalam UU BUMN, sehingga DPR RI sulit melakukan pengawasannya.
"Apalagi jika nanti dibentuk Badan Super Holding, maka akan semakin sulit melakukan pengawasannya," katanya.
Hekal menegaskan, saat ini belum ada UU yang mengatur soal anak-anak perusahaan BUMN, padahal anggaran dari BUMN sebagian dialirkan ke anak-anak perusahaan.
Anggaran BUMN, kata dia, adalah anggaran negara, sehingga jika anggaran tersebut dialirkan ke anak-anak perusahaannya maka anggaran di anak-anak perusahaan tersebut juga anggaran negara.
"Karena, anak-anak perusahan tersebut tidak diatur dalam UU sehingga tidak dilakukan audit oleh lembaga auditor negara," katanya.
Di sisi lain, Hekal juga melihat anggota Komisi VI DPR RI tidak bersemangat membahas revisi UU BUMN, karena Menteri BUMN tidak pernah hadir pada rapat kerja di Komisi VI DPR RI.
Menurut Hekal, pada rapat kerja antara Komisi VI DPR RI dengan Menteri BUMN, selalu diwakili oleh Menteri Keuangan, sehingga selalu tidak dapat membuat keputusan.
"Meskipun Menteri Keuangan setara dengan Menteri BUMN, tapi bukan pemegang kuasa di Kementerian BUMN," katanya.
Sebelumnya, rapat paripurna DPR RI pada Januari 2016, memutuskan melarang Menteri BUMN Rini untuk hadir pada rapat-rapat di DPR RI, menyusul rekomendasi Pansus Pelindo II.
Pewarta: Riza Harahap
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016