"Dulu kereta wisata menggunakan lokomotif uap ini kan sempat terhenti. Kami operasikan lagi," kata Direktur Komersial PT KAI M. Kuncoro Wibowo di Ambarawa, Kabupaten Semarang, Kamis.
Hal tersebut diungkapkannya usai peluncuran KA Wisata Ambarawa-Bedono menggunakan lokomotif uap untuk menarik dua kereta wisata dengan kapasitas maksimal 80 penumpang, di Stasiun Ambarawa.
Medan menuju Stasiun Bedono berkontur terjal sehingga hanya bisa dilalui oleh lokomotif khusus yang mendukung sistem rel bergerigi di lintasan menanjak yang sudah dibangun sejak zaman Belanda itu.
Kebetulan, KAI masih memiliki dua lokomotif uap yang mendukung sistem rel bergerigi, yakni Lokomotif B 2502 dan B 2503 buatan Jerman pada tahun 1902 yang kini dikembangkan untuk kereta wisata.
Kereta uap itu sebenarnya sudah pernah dioperasikan untuk wisata dari Stasiun Ambarawa-Bedono, namun dihentikan sekitar tiga tahun lalu karena terkendala permasalahan sarana prasarana.
"Keunikan perjalanan dari Stasiun Ambarawa-Bedono ini karena menggunakan lokomotif uap. Sempat terkendala sarana prasarana, namun sudah kami perbaiki dan kini direaktivasi kembali," katanya.
Dengan peluncuran itu, Kuncoro mengharapkan sektor pariwisata di Jateng, khususnya Kabupaten Semarang bisa meningkat, sebab kereta wisata itu menyasar segmen wisatawan lokal maupun mancanegara.
Untuk menikmati perjalanan kereta uap menyusuri hamparan hijaunya Gunung Merbabu dan Gunung Ungaran selama dua jam pulang-pergi, wisatawan bisa menyewa kereta itu dengan biaya Rp15 juta.
Sementara itu, mantan Kepala Stasiun Ambarawa HM. Sudono yang kini menjadi tenaga profesional "heritage" di stasiun itu mengatakan dulu kereta uap itu rutin dioperasikan sampai 221 kali dalam setahun.
"Dari mulai sewanya kereta uap Rp625 ribu tahun 1996 sampai Rp5 juta tahun 2005. Saya jadi kepala stasiun ini sekitar 10 tahun. Sekarang, sewanya Rp15 juta," katanya.
Ia menjelaskan Stasiun Ambarawa berada di ketinggian 474,4 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan Stasiun Bedono di ketinggian 709 mdpl sehingga rute kereta wisata itu memang menanjak terjal.
"Tidak mungkin lokomotif biasa bisa menanjak setinggi itu. Makanya, harus memakai kereta uap khusus untuk menyusuri rel bergerigi. Bahan bakarnya harus kayu jati sehingga memang mahal," pungkasnya.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016