Sejumlah gambar hitam putih yang menggambarkan para wanita itu berjajar di dinding museum yang menunjukkan pernyataan dari para korban begitu pula dengan sejumlah barang-barang bersejarah seperti kondom yang dikeluarkan oleh militer Jepang, sepasang sepatu wanita bertali dan sejumlah dokumen pengenal yang telah rusak.
Banyak pengunjung museum itu, yang dibuka di Universitas Normal Shanghai, merupakan para pelajar muda yang kurang begitu memahami cerita-cerita yang dikumpulkan di museum itu selama beberapa tahun.
"Perasaan pertama saya adalah saya terkejut. Gambar-gambar yang ada di dinding itu, yang menunjukkan pernyataan nyawa mereka yang selamat tersebut (mengejutkan saya). Kami tidak dapat menyingkirkan luka atau ingatan yang telah mereka berikan," ujar seorang mahasiswa berusia 22 tahun, Dong Zhenyu.
Pengunjung lainnya menyebutkan bahwa museum itu membawa pengalaman yang dialami oleh para wanita itu alih-alih membawakan perang dimana mereka terlibat.
"Sebagian besar pemahaman kami datang dari sejumlah acara televisi yang anti-Jepang. Para pelajar mendapatkan sebagian besar pemahaman mereka melalui buku-buku pelajaran semasa sekolah, dan hanya terdapat sedikit penjelasan terkait apa wanita penghibur itu," ujar Bi Lihua.
Hanya ada beberapa "wanita penghibur" China yang masih hidup dan kepala museum itu berharap bahwa koleksi-koleksi yang dipamerkan itu akan memberikan cahaya bagi masa depan mereka.
"Terdapat sedikit gambaran aktual atau kekhawatiran terkait bencana sejenis ini yang terjadi terhadap rakyat kami," ujar Su Zhiliang.
"Kami memberikan sebuah jendela bagi orang-orang untuk melihat isu ini. Kami harus menghadapi sejarah dan memahami bagaimana kami harus menjalani jalan untuk mencapai masa depan yang lebih baik dan damai".
Pasukan Jepang menapakkan kaki China pada 1931 lalu dan tetap berada di negara itu, memerangi kalangan kelompok nasionalis dan komunis China, hingga akhir Perang Dunia Kedua pada 1945 lalu. Demikian laporan Reuters.
(Uu.Ian/KR-MBR/a032)
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016