Kunokini & Svaraliane membingkai musik tradisi

1 November 2016 10:09 WIB
Kunokini & Svaraliane membingkai musik tradisi
Kunokini & Svaraliane saat tampil di Synchronize Fest 2016. (ANTARA News/Natisha)

Gue enggak pingin kita ketinggalan zaman sama kebudayaan kita sendiri. Aneh kan? Ketinggalan zaman sama kebudayaan kita sendiri...

Jakarta (ANTARA News) - Setelah 10 tahun lebih terbentuk, Kunokini semakin mantap di jalur musik tradisi dan mengembangkan diri menjadi Kunokini & Svaraliane, yang berarti Kunokini dan suara lainnya.

Dengan formasi sekarang yang tidak hanya meliputi instrumen perkusi, Kunokini & Svaraliane ingin merangkul lebih banyak orang untuk mendengarkan musik tradisi agar bebunyian asli Indonesia tidak terlupa.

Antara News mengobrol dengan dua personel Kunokini & Svaraliane, Adhi Bhisma Whraspati alias Bhismo dan Dzulfikri Putra Malawi, serta penyanyi rap asal Singapura Masian, atau yang dikenal sebagai Masia One tentang musik tradisi dan kegelisahan mereka.

Berikut petikan wawancara dengan mereka di sela Synchronize Fest 2016 yang berlangsung 28-30 Oktober di Jakarta.


Ganti nama, apa bedanya dengan sebelumnya?

Bhismo: Tambah orangnya, kita jadi bersepuluh, ada brass section, horn section, bass dan dua backing vocal, cewek. Jadi, memang kita ingin cari harmonisasi di antara (musik) tradisi ini, pingin ada yang cantik-nya lah (tertawa).

Fikri: Kalau dilihat dari sejarahnya, ini pemekaran karya dari Kunokini. Tiga-empat tahun yang lalu, mereka tinggal berdua, Bhismo dan Bebi. Akhirnya, ke alat yang konvensional, digabungkan. Seiring berjalan waktu, dipakai untuk konser saja. Tahun ini, akhirnya dikukuhkan sebagai grup bersama. Enggak cuma Kunokini doang. Kalau Kunokini doang, identik dengan musik perkusi. Sementara kita ingin mendekatkan diri ke masyarakat, musik tradisional enggak menakutkan. Enggak membosankan.

Kita sama kayak band, ada pembagian bass, chorus, reff, outro, kayak begitu lah. Komposisinya sama kayak band. Kita masukkan unsur konvesional supaya lebih gampang diterima sama kuping kita. Kalau kita mau "nyekokin" sesuatu yang tidak populer dengan cara yang biasa… Kunokini sudah dari 2003 dan segmennya segitu-segitu aja. Kita berharap dengan pelebaran kayak gini, pendengarnya semakin besar.

Bhismo: Tapi, juga, di dalamnya itu eksplorasi bunyi pun dalam. Jadi, kita minta mereka yang nada diatonis masuk ke pentatonis, secara teknis. Lalu, stem-an mereka frekuensinya ikut pentatonis. Jadi, yang tadinya 440 (hertz) jadi 432. Turun semua tuh. Langsung nge-tune tuh frekuensinya. Kalau (kunci) A di alat tuh biasanya di 440, kita turunin di 432.

Fikri: Jadi, kita ngulik segitu dalemnya, enggak cuma ditempelin alat konvensional supaya matching, atau supaya jadi kayak musik kebanyak, lalu jadi world music (musik dunia.

Bhismo: Kalau dengan tema seperti itu sebenarnya senior-senior kita sudah ada. Etnik dengan konvensional, pakai keyboard atau apa. Cuma kita enggak pingin sekedar nempel, ini harus lebih kuat dan dalam. Timbul ada sebuah kenyamanan yang baru. Kebudayaan yang baru lah.

432 hertz itu bunyi alam. Alam berbunyi di 432. DNA kita juga. Dan itu cuma ada di alat musik Indonesia. Makanya kalau kamu dengar gamelan kadang ngantuk, meditatif sekali, karena ada di 432 (hertz) itu.

Kunokini ingin dekat sekali dengan tradisi yang sudah lama ada.

Bhismo: Sebenarnya. Tapi, kalau kamu nonton kita, ini pop dan modern banget kan. Tapi, itu dalam banget kan. Justru itu ramuan kita, yang dalam dibikin enak, dibikin nge-pop.


Sulit untuk menjangkau pendengar Indonesia?

Bhismo: Pasti sulit!

Fikri: Honestly (jujur), kalau kita bicara sekelas Barasuara, Efek Rumah Kaca, dengan mudah mereka grab pasar karena mereka band.

Bhismo: Udah indie, alatnya tradisional lagi. Makin miring tuh (tertawa).

Fikri: Persepsi orang tuh, Kunokini membosankan karena bunyi-bunyian perkusi. Ini PR kami, biar orang sama enaknya menikmati kayak band lain. Jadi, treatment pendekatan band. Bukan mendengarkan kelompok sanggar atau musik tradisional.

Bhismo: Tapi, kalau audience mancanegara tertarik banget. Enggak usah ditanya. Kita menghadirkan Kunokini doang mereka joget sampai orgasme.

PR justru di Indonesia dan itu makanya kita enggak mau berhenti. Ini krusial. Kalau lo enggak sadar, tarik 10 tahun lagi, lo bakalan ketinggalan, man! Singapura, ini teman saya Masia One yang tadi kita kolaborasi, bilang di Lasalle (institut seni), mereka punya gamelan, man. Singapura! Kita gimana? Kalau mau ngomongin Amerika, beberapa universitas di sana udah ada gamelan Jawa dan Bali. Mereka eksplorasi, yang main orang bule semua, man. Lo mau gimana?

Di Prancis, bahkan mereka ngasih treatment gamelan untuk orang di penjara supaya ada niat untuk kembali hidup, kerja. Pakai gamelan. Yang tadinya sudah enggak pingin ketemu keluarga atau ngapa-ngapain, mereka latihan gamelan jadi punya kemauan untuk hidup lagi. Karena gamelan doang, man! Dan sekarang mereka mutar di antara penjara.

Gue enggak pingin kita ketinggalan zaman sama kebudayaan kita sendiri. Aneh kan? Ketinggalan zaman sama kebudayaan kita sendiri, tapi itu yang terjadi. Di situ napasnya makanya kita enggak mau berhenti.


Gemas lihat kondisi itu?


Bhismo: Wah, gemas banget! Makanya segininya, sudah 13 tahun.


Selama 13 tahun itu apa yang didapat Kunokini?

Bhismo: Banyak banget.

Fikri: Salah satunya belajar melihat attitude (perilaku) penonton lokal dan mancanegara. Kalau mancanegara mereka apresiasinya sebegitu tinggi. Penonton lokal, apresiasi masih segini.

Bhismo: Kalau di Bali, (penonton) pecah.

Fikri: Rencana, supaya mereka apresiasi setinggi yang mancanegara. Tapi, itu yang kita butuhkan, balik lagi bicara musik tradisional, makanya kita punya program "Kembali ke Akar" dengan bebunyian nusantara. Kita pingin ajak masyarakat supaya menikmati alat tradisional.


Program itu masuk ke sekolah juga?

Bhismo: Itu ada workshop, setelah itu kita manggung. Kemarin sudah Bali, Jogja, Jakarta dan Bandung. Sekarang kita masih cari dana, soalnya itu pergerakan sosial. Setidaknya untuk produksi. Kita pinginnya gerak lebih masif lagi, ke universitas langsung.

Kalau saya pribadi saya mengajar di TK sampai SMA. Kalau kita lihat dulu zaman sekolah, musik yang kita pelajari apa? Di situ kita enggak bisa hanya menyalahkan kenapa generasi muda enggak tahu. Yang memberi pendidikan, kenapa enggak ngasih. Makanya kita dorong dengan "Kembali ke Akar" supaya lebih masif pergerakannya.


Pernah merasa bosan?

Bhismo: Pernah (tertawa).

Fikri:Salah satu alasan gue gabung ke Kunokini, gue paling baru di sini, baru tahun lalu. Dua tahun sebelumnya additional player. Memutuskan untuk gabung karena merasa kalau sebatas musik tradisional doang, langkah lo masih setengah. Gue punya kepedulian yang sama. Mereka sudah lama konsisten dan gue melihat semangat mereka memang sungguh-sungguh. Ya kita coba bareng, kembangkan lagi.

Bhismo: Yang bikin bosan, apresiasi saja sih. Kalau belajarnya, manggungnya selalu enak. Semakin kita mendalami tradisi, justru yang kita temukan itu beat modern, rhythm modern. Itu yang orang banyak enggak tahu. Banyak banget rhythm modern yang bisa kita ambil.

Soul sudah ada, reggae ada, bossas ada sedikit di Padang, irama Brasil ada juga di Padang. Rap ada di Aceh, orang Timur, Maluku, juga nge-rap.

Sebenarnya, sekarang gue lebih bingung kalau bicara tradisi dan modern, ini hanya permasalahan rentang waktu. Siapa yang duluan saja. Kalau kita lihat lagi, enggak ada tradisi atau modern. Di musik tradisi saja, yang modern sudah ada. Misalnya soal reverb (gema), di sasando kalau dibuka, kasih mic kanan-kiri, itu reverb alami. Amazing banget! Lo enggak usah pakai sampling echo, itu udah reverb sendiri, man! Itu tradisional, tapi modern. Dan pakai daun lontar doang. Gila kan. Ini udah lintas generasi yang mereka ciptakan.

Cuma, masalahnya kita menyadari enggak? Di situ PR nya untuk kita meracuni dengan baik (tertawa).


Bagaimana melihat kolaborasi dengan Kunokini & Svraliane?

Masia One: Saya kolaborasi di lagu  remix "Hey Beb!", pas saya pertama kali dengar, inspirasi. musik Jamaika, old school nyanyi dengan cajon (alat musik perkusi dari Peru). Begitu dapat, saya kasih ke produser, lalu dia ubah ke versi yang lebih danceable.  Saya rasa enggak hanya tentang Kunokini dan budaya di Indonesia, tapi juga kami berikan rap ala Singapura dan produser Jamaika. Jadi ini, mix yang gila banget. Enggak sabar mau lihat nanti bagaimana.

Fikri: Kita baru ngeluarin single, beberapa bulan lalu, "Hey Beb!". Setelah perilisan single, mau buat digital, kami ajak beberapa produser dan DJ. Mereka interpretasi ulang lagi, lagu "Hey Beb!" dengan komposisi mereka sendiri. Hasilnya macam-macam, akan kita rilis dan kurasikan lagi dengan visual art.

Itu untuk mendekatkan ke kultur urban, akhirnya kita harus buat aktivitas. Musik elektronik kan paling dekat nih dengan anak muda sekarang, kita coba masuk ke situ. Kita harus terbuka dengan kolaborasi.


Beberapa lagu Kunokini bertema hubungan transendental, kenapa begitu tertarik?

Fikri: Hahaha tanya dia (Bhismo) aja.

Bhismo: Hahaha

Bhismo kemudian meminta Masia One menjawab pertanyaan itu.


Masia One: Tentu! Saya juga merasakan. Saya tidak biasa mendengar perkusi Indonesia, jadi waktu pertama kali dengar, semuanya drum, dengan ritme yang berbeda-beda.

Bhismo: Karena begini, kalau mainkan instrumen tradisional, enggak pernah bisa lepas dengan konsep spiritual. Mereka membuatnya saja kadang pakai puasa, fokus banget. Instrumennya sendiri sudah membawakan suasana seperti itu.

Pas kita belajar pun kadang kita trance. Pas nembang, merinding juga. Rasa kayak gitu enggak bisa dibuat-buat dan kita enggak bisa menghindar. Tanpa pretensi apa pun, tanpa maksain. We just have to (kita hanya harus) ikhlas.

Masia One: Sebagai rapper, begitu juga di lirik. Orang dulu enggak begitu peduli lirik, enggak kayak sekarang. Tapi, kalau kau yakini apa yang kau bicarakan sebagai MC dan liriknya sangat bermakna buatmu. Itu juga spiritualitas karena kau berbicara dengan hatimu, dalam rap. Apa yang kau rasakan dari lingkungan, dirimu sendiri, itu juga spiritualitas. Saya rasa orang sering lupa kalau hip-hop juga punya sisi spiritual karena lirik sangat penting. Kata-kata itu sangat kuat.





Oleh Natisha Andarningtyas
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016