"Jadi gugatan itu tidak perlu dilanjutkan kembali," kata Ketua RW 011 Kelurahan Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, Haji Khafidin saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
Selain dia, dua warga RW 011 lainnya, termasuk di antara lima nelayan yang menggugat izin reklamasi, di luar dua lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Menurut Khafidin, keputusan nelayan menggugat Pemprov DKI ketika itu karena tidak adanya sosialisasi yang cukup seputar proyek kepada masyarakat.
Saat itu, baik Pemprov DKI maupun para pengembang kurang berkomunikasi dengan warga di kawasan pesisir tersebut. "Makanya awalnya kami menolak reklamasi," ujar dia.
Namun setelah terjalin komunikasi dan sosialisasi, warga Muara Angke bisa memahami proyek itu. Dampak lingkungan yang mungkin muncul juga sudah disepakati akan menjadi tanggung jawab pihak yang terlibat dan tidak akan merugikan warga.
Selain itu, katanya, pengembang berkomitmen memberikan perhatian kepada warga. Masyarakat juga yakin keberadaan proyek pengembangan kawasan Pantai Utara Jakarta akan membuat nelayan lebih sejahtera dan bisa mengangkat harkat martabat warga Muara Angke dalam jangka panjang.
Saat ini, tambah dia, situasi dan kondisi warga Muara Angke juga lebih tenang setelah adanya komitmen dari pengembang untuk masyarakat sekitar.
Khafidin berharap situasi ini bisa terus terjadi sehingga tidak menimbulkan keresahan seperti beberapa waktu lalu. "Karena pihak luar tidak perlu ikut campur, karena untuk apa juga mereka ikut campur," ujar dia.
Haji Syarifuddin Baso, tokoh masyarakat lain di Muara Angke menegaskan, masalah di Muara Angke lebih baik diserahkan ke warga untuk menyelesaikan.
Oleh karena itu dia meminta LSM dan kelompok kepentingan lain tidak menghasut dan memecah belah warga Muara Angke terkait isu reklamasi.
"Akibat hasutan dan pengaruh orang-orang luar, masyarakat Muara Angke menjadi terpecah-pecah. Jangan ikut campur, biarkan kami perjuangkan nasib sendiri bukan dari orang luar. Kami tidak mau disetir sama orang lain," tegasnya.
PTTUN Jakarta pada 13 Oktober 2016 telah mengabulkan banding Pemrov DKI terkait putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang membatalkan SK Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Reklamasi Pulau G. Putusan banding ini menjadi dasar bahwa kegiatan pembangunan Pulau G dapat dilanjutkan kembali.
Dalam pertimbangannya, tiga hakim Pengadilan Tinggi Jakarta menyatakan gugatan para penggugat sudah kadaluarsa karena melampaui 90 hari sejak izin diterbitkan Pemerintah Provinsi Jakarta. Para penggugat baru mengajukan gugatan pada 16 September 2015, padahal izin sudah terbit sejak 23 Desember 2014. Bahkan, proses pembangunan pulau sudah dilaksanakan.
Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016