Pada pekan lalu, Duterte menyatakan kemarahannya terhadap "orang bodoh" dan "monyet" di Washington, yang berusaha menghalangi kesepakatan itu dan mengatakan akan membatalkannya.
Namun, Kepala Kepolisian Filipina, Jenderal Dela Rosa, mengatakan, Duterte mencabut keputusan itu, yang tampaknya terjadi setelah kemenangan mengejutkan calon dari Partai Republik Donald Trump dalam pemilihan presiden AS.
"Presiden mengatakan kepada saya untuk melanjutkan kesepakatan itu," kata dia, dalam jumpa pers.
"Pengolahan dokumen berjalan lancar. Kami memiliki restu presiden untuk melanjutkan transaksi," katanya.
Dela Rosa tidak mengatakan mengapa Duterte berubah pikiran, tetapi dia mengatakan akan ada presiden baru di Washington dan "ia (Duterte) dengan Donald Trump bersahabat".
Ajudan Ben Cardin, yang duduk di Komite Senat Hubungan Luar Negeri Amerika Serikat, pada bulan lalu mengatakan Departemen Luar Negeri telah memberitahukan Cardin akan menentang kesepakatan saat proses "pra-notifikasi", yang secara efektif membatalkan itu.
Cardin enggan Amerika Serikat menyediakan senjata kepada kepolisian Filipina dengan menyoroti tentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam peperangan Duterte pada obat-obatan, yang menewaskan 2.300 orang dalam empat bulan pertama.
"Kemaharan" Duterte-pun meningkat akibat kekhawatiran AS atas tindakan represifnya pada obat-obatan yang menurut Duterte diperlukan untuk menyelamatkan negara Asia Tenggara itu dari kehancuran.
Duterte sering mengkritisi pemerintahan Obama dengan kemarahan, namun menyatakan keinginannya untuk bekerjasama dengan Trump.
Dela Rosa mengatakan bahwa ada kemungkinan presiden Duterte akan membatalkan kesepakatan senjata itu jika nanti ada intervensi dari Washington.
"Jika mereka akan menghalangi itu, saya yakin presiden akan memberitahu saya lagi untuk menghentikannya. Kami membayar untuk itu, kami tidak mengemis untuk itu," katanya.
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016