Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah tokoh masyarakat dan pemuda nelayan Muara Angke, Jakarta Utara menegaskan, mereka kini sudah tak mempersoalkan lagi pengembangan kawasan Teluk Jakarta, khususnya terkait dengan reklmasi.Karena itu, kami minta LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) tak pecah belah kami dan tak ikut campur dalam reklamasi Teluk Jakarta."
"Karena itu, kami minta LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) tak pecah belah kami dan tak ikut campur dalam reklamasi Teluk Jakarta," kata Ketua Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jakarta Utara, Syarifuddin Baso saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
Menurut mereka, kata Baso, keterlibatan LSM dalam mencampuri urusan nelayan sudah terlalu jauh dan justru membuat kehidupan nelayan semakin sulit.
Bahkan, kata Baso, secara khusus, nelayan juga telah menerima putusan banding Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta yang memerintahkan reklamasi Pulau G oleh PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha PT Agung Podomoro Land Tbk dilanjutkan.
Hasil ini sekaligus membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur sebelumnya.
Dia menyebutkan, hingga saat ini sedikitnya terdapat dua LSM yang terlibat aktif dalam persoalan di Teluk Jakarta. Mereka adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).
Baso menyebut, LBH Jakarta tidak pernah melakukan musyawarah dengan warga Muara Angke terkait rencana pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung.
Aksi LBH, menurut dia, telah melangkahi warga Muara Angke.
"LBH Jakarta jangan campuri urusan kami. Kami sudah bosan dengan demo-demo yang hanya mengorbankan nelayan Angke," katanya.
Syarifuddin menambahkan, para nelayan yang mengajukan kasasi justru berasal dari luar Muara Angke. Nelayan tersebut biasanya disebut dengan nelayan andong.
"Kami nelayan asli sudah sepakat untuk tidak menempuh jalur hukum lagi. Jadi, LBH Jakarta meminta pendapat dari nelayan-nelayan yang bukan asli warga Muara Angke," katanya.
Haji Khafidin yang juga salah satu Ketua RW dari lima warga yang menjadi penggugat Pemprov DKI Jakarta terkait Pulau G secara terpisah menegaskan, warga Muara Angke merasa bahwa isu reklamasi justru tidak menguntungkan nelayan.
Karena itu, katanya, para penggugat merasa perlu untuk menarik gugatan tersebut dan tidak terlibat lagi terkait isu-isu reklamasi.
"Apa yang muncul setelah gugatan itu dilakukan dan menang di PTUN Jakarta Timur tidak memihak nelayan juga. Nelayan dan warga Muara Angke justru tidak mendapatkan keuntungan apa-apa. Makanya kami bersama warga lain meminta agar masalah ini dihentikan," katanya menegaskan.
Tolak Kasasi
Para nelayan di Muara Angke, kata Khafidin, ingin hidup dan mata pencahariannya terjamin. Jika memang pembangunan pulau bisa memberikan keuntungan dan jaminan hidup yang lebih baik, para nelayan akan mendukung.
Oleh karena itu, pihaknya menilai gugatan itu tak perlu lagi dilanjutkan. "Tidak perlu lagi lanjutkan gugatan ke kasasi. Kami menolak karena ingin hidup sejahtera dan LSM jangan ikut campur karena tidak memberikan pengaruh yang nyata buat warga," katanya.
Saat ini, situasi dan kondisi warga Muara Angke juga lebih tenang setelah adanya komitmen dari pengembang untuk masyarakat sekitar.
Khafidin berharap situasi ini bisa terus terjadi sehingga tidak menimbulkan keresahan seperti beberapa waktu lalu.
"Karena pihak luar tidak perlu ikut campur, karena untuk apa juga mereka ikut campur," tambahnya.
Sesuai regulasi yang ada, diakui beberapa pihak, kasasi kasus reklamasi memang tampak janggal dan berdasarkan Undang-Undang Mahkamah Agung, putusan banding PTUN hasil kebijakan pemerintah daerah, putusan praperadilan, dan pidana dengan penjara atau denda di bawah satu tahun, tidak bisa kasasi.
Sebelumnya, pengacara dari LBH Jakarta sekaligus kuasa hukum nelayan, Tigor Hutapea, mengatakan sejumlah nelayan di ibu kota mengajukan kasasi perkara gugatan izin reklamasi Pulau G atas putusan banding PTTUN Jakarta yang mengalahkan nelayan.
Permohonan kasasi disampaikan para nelayan kepada Mahkamah Agung melalui kuasa hukum mereka.
Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016