"Untuk (bangunan berteknologi, red.) yang apung-apung ini akan dikembangkan terus," katanya, usai meresmikan perpustakaan dan balai pertemuan apung untuk warga Tambaklorok, Semarang, Jumat.
Khususnya, kata dia, di daerah-daerah rawa yang selama ini sistem konstruksi huniannya kebanyakan menggunakan tiang-tiang trucuk untuk bisa beralih ke bangunan dengan teknologi apung tersebut.
Bangunan apung di kawasan Tambaklorok, Semarang, itu, merupakan hasil riset dari Badan Riset dan Penelitian (Balitbang) Kementerian PUPR yang dinamai sistem modular wahana apung (Simowa).
"Saya rasa jelas lebih efisien karena tidak memakai pondasi. Berarti, (biayanya, red.) jauh lebih murah. Harganya (biaya, red.) lebih murah 40 persenan dibanding tidak pakai teknologi apung," katanya.
Untuk bangunan apung di kawasan Tambaklorok, Semarang, itu, lanjut dia, prioritasnya memang akan dikembangkan di kawasan kampung nelayan itu sebagaimana perintah dari Presiden RI Joko Widodo.
"Ya, terutama (dikembangkan, red.) di Tambaklorok dulu karena perintahnya Pak Presiden (Jokowi, red.) mau di sini dulu. Namun, untuk daerah-daerah rawa nanti akan terus dikembangkan," katanya.
Ia menjelaskan bangunan berteknologi apung itu merupakan solusi untuk menghadapi fenomena penurunan muka tanah, banjir, dan rob yang sering terjadi di kawasan pesisir, termasuk Semarang.
"Ini (bangunan apung, red.) kan menyesuaikan pasang surut air laut. Kebetulan, ini (laut, red.) sedang surut, jadi jembatannya begini (menurun, red.)," katanya, seraya mengisyaratkan dengan tangannya.
Namun, kata dia, jika air laut pasang maka bangunan apung itu juga ikut naik menyesuaikan permukaan air laut sehingga tidak terpengaruh dengan banjir maupun rob, yakni limpasan air pasang laut ke darat.
Untuk teknologi apung yang digunakan, diakuinya memang mengadopsi dari Belanda, tetapi ada perbedaan dalam metodologi kerja beton, seperti di Indonesia yang memilih menggunakan beton model cor.
"Jadi, ponton (wahana apung, red.) ini isinya styrofoam dan beton. Dengan adanya styrofoam makanya bisa mengapung. Saya rasa tidak ada kendala karena menyesuaikan pasang-surut laut," katanya.
Bahkan, Basuki menambahkan ketahanan wahana apung tersebut bisa mencapai minimal 50 tahun, dan warga Tambaklorok ternyata juga tertarik untuk mengadopsi teknologi apung untuk tempat hunian.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016
