Sedangkan status di CITES, gajah Sumatra masuk kategori "appendix 1" atau tidak boleh diperdagangkan. Hal tersebut dibahas di Konferensi Gajah Nasional, Sabtu (23/11) di Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Pemerintah harus menghentikan konversi hutan alam yang tersisa, karena merupakan habitat gajah dan satwa liar lainnya,” kata Donny Gunaryadi dari Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA News di Jakarta, Minggu.
Donny menambahkan, pemerintah juga harus melakukan moratorium penangkapan gajah, menegakkan hukum tegas juga melakukan pendampingan kepada masyarakat khususnya yang tinggal di sekitar hutan alam.
Pemerintah juga harus memberikan pendanaan keamanan PLG (Pusat Latih Gajah) serta investasi penjualan gading gajah.
Tak hanya yang liar, namun gajah jinak yang berada di PLG atau tempat – tempat konservasi juga harus diperhatikan. Ia mengungkapkan, penyebab kematian paling besar adalah akibat virus herpes, penyakit EEHV serta breeding yang rendah.
"Pada 2007, populasi jinak hanya sekitar 500 individu, makin hari makin berkurang. Kalau semua cuek, tak lama lagi gajah hanya ada di buku cerita. Sudah tak ada waktu saling menyalahkan, saatnya semua bertindak, kalau bukan kita siapa lagi,"kata Donny.
Kepala Subdit Pengawetan Jenis Sukirna Puja Utama mengatakan pemerintah menyadari beberapa hal yang menyebabkan kelestarian gajah berkurang, di antaranya, hilangnya habitat, konflik manusia dan gajah, perburuan illegal, pemanfaatan organ gajah secara illegal, dan sejumlah virus penyakit.
"Kami mulai menyusun strategi untuk mencegah beberapa hal tersebut untuk periode 2007-2017. Salah satunya memasukan gajah sebagai salah satu satwa terancam punah dan mentarget supaya populasi gajah bisa meningkat 10% hingga 2019," kata Sukirna.
Pewarta: Monalisa
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2016