Aryanti mengajar pada SD Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) Bulujauluki Aramsolki, Distrik Agimuga.
Sebelumnya dia pernah bertugas di SD YPPK Kipia, Distrik Mimika Barat Jauh, selama tiga tahun sejak 2008 hingga 2011.
Merantau jauh dari orang tua, sanak saudara dan tanah kelahirannya di NTT ke Papua bukanlah sebuah persoalan bagi Aryanti.
Ia menikmati profesinya sebagai guru di pedalaman Papua karena terdorong keinginan besar untuk membawa anak-anak Papua dapat meraih masa depan yang cerah.
"Kalau mau jujur, tidak mungkin saya sampai di tempat ini untuk mengajar anak-anak Papua. Ada banyak tawaran pekerjaan yang lebih menjanjikan di kota. Tapi menjadi guru merupakan panggilan jiwa saya. Saya senang dan bangga kalau nanti anak-anak didik saya berhasil menjadi orang," tutur Aryanti saat ditemui Antara belum lama ini di Aramsolki Agimuga.
Aryanti menamatkan pendidikan pada Sekolah Tinggi Theologi Setia Jakarta tahun 2007.
Sejak awal 2008, ia bersama 49 alumni STT Setia Jakarta dikirim ke Mimika oleh Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua untuk menjadi tenaga guru kontrak di sekolah-sekolah pedalaman.
"Lembaga pendidikan tempat kami bernaung bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Provinsi Papua mengirim guru-guru untuk bertugas di sekolah-sekolah pedalaman di semua kabupaten di seluruh Provinsi Papua," ujarnya.
Kebijakan perekrutan guru-guru kontrak oleh Dinas Pendidikan Provinsi Papua itu karena kenyataan menunjukkan bahwa hingga kini sebagian besar sekolah-sekolah di pedalaman Papua masih sangat kekurangan tenaga guru.
Lebih ironis lagi, sebetulnya ada banyak guru PNS yang bertugas di sekolah-sekolah pedalaman Papua. Namun mereka sangat jarang, bahkan tidak pernah berada di tempat tugasnya selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun alias "makan gaji prodeo".
Aryanti mengakui kondisi seperti itu terjadi di SD YPPK Bulujauluki Aramsolki Agimuga, beberapa tahun silam.
"Awalnya yang bertugas di sekolah ini teman saya, namanya Ibu Desi. Saat dia datang ke sini pada awal 2008, sekolah ini sama sekali tidak ada aktivitas. Karena prihatin dengan kondisi anak-anak, ada satu tentara (prajurit TNI AD dari Yonif 754/Eme Neme Kangasi) namanya Pak Logo berinisiatif mengajar anak-anak. Setelah Ibu Desi tiba di Aramsolki mereka berdua yang menjalankan sekolah ini," tutur Aryanti.
Setelah era yang sulit itu, kini pendidikan anak-anak Kampung Aramsolki Agimuga kembali menggeliat.
Beberapa guru mulai didatangkan ke sekolah tersebut. Ada guru PNS, ada juga guru kontrak dari Pengurus Sekolah Wilayah (PSW) YPPK Tillemans Timika.
Bahkan Uskup Timika Mgr John Philip Saklil Pr menugaskan khusus seorang biarawati, Suster Marcela Rettob TMM untuk memberikan pendampingan kepada guru-guru di SD YPPK Bulujauluki Aramsolki.
"Perkembangan sekolah ini dalam beberapa tahun terakhir sangat luar biasa. Anak-anak semakin semangat datang ke sekolah. Apalagi setelah kami punya gedung sekolah baru yang dibangun oleh LPMAK (Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro)," kata Aryanti.
Pada 2014-2015 LPMAK membangun gedung sekolah permanen SD YPPK Bulujauluki Aramsolki Agimuga. Gedung sekolah baru tersebut memiliki enam ruang belajar dilengkapi ruang guru, ruang kepala sekolah dan kamar mandi.
Tidak hanya fasilitas gedung sekolah, LPMAK juga menyediakan seluruh sarana prasarana belajar mengajar seperti meja kursi siswa dan guru serta papan tulis.
Hal serupa juga dilakukan LPMAK di SD YPPK Belakmakma Kampung Amungun dan SD YPPK Putsinara Kampung Kiliarma Distrik Agimuga.
Dukungan dan keterlibatan LPMAK dalam membenahi fasilitas pendidikan di pedalaman dan pesisir Mimika tidak saja dirasakan warga Distrik Agimuga, tetapi juga warga di distrik-distrik lain di wilayah pesisir Mimika.
Sekolah-sekolah yang dibangun LPMAK antara lain gedung SD YPPK Manasari, gedung SMP Negeri Manasari, gedung SD YPPK Kampung Ohotya (Otakwa) Distrik Mimika Timur Jauh, gedung SD YPPK Keakwa Distrik Mimika Tengah, gedung SD YPPK Kokonao, gedung SMP YPPK Lecoq de Armanvile Kokonao Distrik Mimika Barat dan gedung SD YPPK Ipaya Distrik Amar.
Motivasi Belajar
Aryanti menolak anggapan banyak kalangan yang menilai anak-anak Papua sulit menerima pelajaran.
Menurut dia, ada banyak faktor yang menyebabkan anak-anak Papua di pedalaman kurang berkembang pendidikannya. Selain karena kurangnya dorongan dari orang tua, kehadiran guru yang kurang di sekolah juga membuat anak-anak tidak memiliki motivasi untuk sekolah.
"Kemauan anak-anak untuk sekolah sebetulnya sangat besar. Mereka punya kreativitas. Perlu ada guru untuk terus memberi mereka semangat dan motivasi. Tentu guru harus selalu ada di sekolah setiap saat. Jangan hanya datang Senin-Kamis. Kalau kelakuan guru seperti itu sama saja," ujar Aryanti.
Kesan serupa juga disampaikan Kepala Sekolah Taruna Papua Timika Johana Meriam Magdalena Tunay.
"Anak-anak Papua punya semangat belajar. Mereka tidak ada masalah dalam hal menerima pelajaran. Semangatnya luar biasa. Kami dari sekolah terus memberikan mereka motivasi untuk harus sekolah dan pentingnya pendidikan untuk mereka," kata Johana.
Saat ini tercatat ada 190 anak-anak asli Papua dari Suku Amungme dan Kamoro, dua suku asli di Kabupaten Mimika yang mengenyam pendidikan di Sekolah Taruna Papua.
Anak-anak tersebut sejak usia sekitar 6-7 tahun diambil dari orang tua mereka di kampung-kampung wilayah pegunungan sekitar Tembagapura, seperti Aroanop, Tsinga, Bela, Banti dan beberapa lainnya dari sekitar Kota Timika dan Fakafuku Distrik Mimika Timur Jauh untuk disekolahkan di sekolah dan asrama Taruna Papua Timika.
Biaya pendidikan seluruh anak-anak tersebut ditanggung sepenuhnya oleh LPMAK, lembaga nirlaba yang mengelola dana kemitraan dari PT Freeport Indonesia untuk pemberdayaan masyarakat lokal di sekitar area pertambangan di Mimika, Papua.
"Biasanya, awal-awal mereka tiba di sini selalu menangis ingat orang tua dan minta pulang. Tapi kalau sudah berjalan satu dua bulan, mereka sudah betah dan tidak mau pulang lagi," tutur Johana, wanita kelahiran Amarasi, Kabupaten Kupang, NTT yang sudah dua tahun bertugas di Sekolah Taruna Papua Timika.
Johana mengatakan guru-guru Sekolah Taruna Papua yang direkrut oleh Yayasan Mitra Citra Cendikia Abadi berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Guru-guru diberikan keleluasaan untuk menggunakan strategi-strategi pendekatan yang membuat anak-anak kreatif dan aktif dalam proses belajar-mengajar.
"Kami mengutamakan proses karena di situlah kita bisa membentuk anak-anak sehingga mereka siap menerima pelajaran. Sekolah juga menyediakan alat musik, drum band, media lukis dan lainnya untuk memotivasi anak-anak lebih semangat lagi dalam belajar," jelasnya.
Seluruh siswa di Sekolah Taruna Papua tersebut wajib tinggal di asrama sekolah yang berada dalam satu kompleks dengan gedung sekolah.
Selain menerima pelajaran di sekolah, mereka juga menerima pelajaran tambahan pada malam hari setelah makan malam.
"Guru-guru kami memberikan pelajaran tambahan pada malam hari. Setiap malam, mereka ada waktu 1,5 jam untuk belajar malam mulai pukul 19.00-20.30 WIT didampingi oleh guru dan pembina asrama," jelas Johana.
Sedangkan bagi siswa pindahan dari sekolah lain atau siswa yang baru datang dari kampung, mereka tidak langsung bergabung dengan rekan-rekannya yang sudah lebih dahulu sekolah di Taruna Papua.
Siswa pindahan tersebut terlebih dahulu masuk dalam kelas persiapan untuk mendapat perhatian khusus dalam hal "3 M", yaitu membaca, menulis dan menghitung. Pasalnya, sebagian besar siswa pindahan dari sekolah lain maupun siswa yang baru datang dari kampung sama belum lancar membaca, menulis dan menghitung.
Pabrik Masa Depan
Sekretaris Eksekutif LPMAK Abraham Timang mengatakan lembaga yang dipimpinnya terus memberikan perhatian dan dukungan kepada pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan dasar di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
"Pendidikan dasar merupakan pabrik untuk mencetak dan melahirkan generasi masa depan yang berkualitas dan siap bersaing. Kalau pendidikan dasarnya tidak berkualitas, bagaimana kita bisa mendapatkan generasi masa depan yang siap bersaing," kata Abraham.
Abraham mengatakan kualitas pendidikan dasar terutama di sekolah-sekolah pedalaman dan pesisir Mimika kini sangat memprihatinkan.
Ada banyak faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan dasar di wilayah pedalaman Mimika dewasa ini semakin menurun kualitasnya, antara lain soal ketersediaan sarana dan prasana sekolah (gedung sekolah), rumah guru, sarana transportasi yang sulit dan terbatas, akses informasi yang sulit.
Belum lagi soal mentalitas guru-guru, terutama guru PNS yang tidak mau melaksanakan tugas, tapi tetap menerima gaji utuh, serta dukungan dan partisipasi pemerintah dan masyarakat yang kurang maksimal.
Dengan kondisi pendidikan di pedalaman dan pesisir Mimika yang demikian, LPMAK sejak beberapa tahun lalu mencoba mengembalikan model pendidikan berpola asrama yang dulu pada era kolonial Belanda hingga dekade 1980-an berhasil melahirkan banyak generasi hebat Papua.
Pendidikan berpola asrama itu yang sekarang diterapkan di Sekolah dan Asrama Taruna Papua.
LPMAK juga menjalin kerja sama dengan Keuskupan Timika dalam mengoperasikan Sekolah dan Asrama Solus Populi di Kampung Karang Senang-SP3 Timika serta Sekolah dan Asrama Putra-putri Bintang Kejora Kokonao, Distrik Mimika Barat.
Kedua sekolah dan asrama itu kini menampung ratusan siswa SD YPPK Seminari St Yohanes Pembaptis dan SMP YPPK Lecoq de Armanvile Kokonao yang berasal dari Suku Amungme dan Kamoro serta suku-suku Papua lainnya seperti Moni, Mee dan lainnya.
"Dengan beberapa sekolah berpola asrama ini kami berharap pada 10-15 tahun ke depan sudah ada orang-orang Amungme dan Kamoro yang siap bersaing dalam berbagai bidang. Kami optimistis beberapa sekolah berpola asrama ini mampu menghasilkan generasi masa depan Papua, khususnya Amungme dan Kamoro yang berkualitas," kata Abraham Timang.
Oleh Evarianus Supar
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016