Jakarta (ANTARA News) - Dibutuhkan waktu sekitar enam bulan bagi Samiaji Sapto Wibowo, guru asal Bandung menemukan formula yang pas membantu anak-anak suku Anak Dalam membaca, menulis dan berhitung.Proses belajar, anak-anak bisa sambil tiduran, asal mereka fokus belajar
Memasuki kawasan tinggal Suku Anak Dalam di Jambi pada 2015, Aji awalnya mengaku stres. Dia tak tahu bagaimana membuat anak-anak di sana mau belajar, atau setidaknya mendatangi kelasnya.
Di tengah frustasi, perlahan dia tersadar, metode yang dipakaianya tidak tepat sasaran. Dia merasa metode belajar pada umumnya tak bisa dipahami, begitu juga dengan buku yang digunakan.
"Kompetensi dasar yang diajarkan di sana itu baca tulis dan hitung. Saya menemukan bahwa metode-metode sebelumnya yang saya pakai itu kurang tepat sasaran. Sebagai contoh, saya menggunakan buku pabrikan dari Jakarta itu tidak banyak kosakata yang dipahami suku anak dalam. Mereka banyak yang tidak bisa menangkap," ujar Aji kepada ANTARA News di Jakarta, Rabu (30/11).
Sebelumnya, dia harus menemukan cara membuat anak-anak di sana tertarik mengikuti kelasnya. Aji harus membuat mereka duduk diam di kelas. Dia akhirnya menemukan bahwa metode mendongeng relatif ampuh menarik perhatian anak-anak.
"Saya menggunakan kotak dongeng. Ini digunakan agar mereka fokus belajar. Sebelumnya mereka itu lari ke sana-kemari. Lalu saya mulai bercerita tentang menggunakan boneka hewan, di situ saya menyampaikan pesan-pesan positif. Itu berguna memfokuskan mereka pada saya," kata dia.
Setelah itu, pria yang pernah mengajar di Aceh tersebut berinisiatif membuat buku khusus bagi anak-anak di sana. Buku ini memuat kosakata Bahasa Indonesia yang dipahami masyarakat setempat, beserta gambar yang tak lain merupakan mereka sendiri.
"Di dalamnya khusus untuk suku anak dalam, gambar-gambarnya mereka dan kosakatanya pun dipilih yang sudah dipahami suku anak dalam. Alhamdulillah dengan buku itu, suku anak dalam sudah bisa membaca," tutur dia.
Begini cara Suku Anak Dalam belajar
Menurut Aji, anak-anak setempat kesulitan mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah formal. Selain karena tak terbiasa duduk diam di kursi, warga sekolah juga kerap memandang mereka sebelah mata.
"Mereka tidak bisa masuk sekolah formal. Alasannya karena banyak masyarakat sekitar yang membully mereka. Saat masuk, masyarakat transmigrasi banyak yang membully. Batin suku anak dalam enggak terima. Mereka diperlakukan seperti anak yang sangat bodoh," ujar dia.
Atas dasar itu, anak-anak Suku Anak Dalam memilih tak memasuki sekolah formal. Di samping memang, masalah pendidikan belum menjadi prioritas kebutuhan mereka seperti pangan.
Sebelum kegiatan belajar dimulai, anak-anak yang terbagi dalam dua kelompok yakni Taman Kanak-kanak (usia 3-6 tahun) dan paket A (6 tahun ke atas) mendapatkan sarapan sekitar pukul 7.00 WIB.
"Meningkatkan minat belajar mereka ibarat kerja keras. Kebutuhan dasar mereka itu bagaimana perut kenyang. Salah satu alternatifnya, saya setiap hari memberi makan anak-anak. Agar mereka bisa terima materi, saya harus penuhi perut mereka," jelas Aji.
Setelah itu, mereka yang belum bisa mandi sendiri, dimandikan dan diberi seragam layaknya anak-anak yang belajar di sekolah formal. Aji mengaku tak mengikuti kurikulum yang diterapkan pemerintah, namun lebih menyesuaikan pada kebutuhan anak-anak di sana.
"Proses belajar, anak-anak bisa sambil tiduran, asal mereka fokus belajar. Ada meja tetapi tidak ada kursi. Karena mereka tidak nyaman, tidak terbiasa. Sekolah harus dibuat nyaman untuk mereka. Saya pernah masukan anak-anak di sekolah formal, mereka enggak bisa duduk diam," kata dia.
Inovasi Aji berbuah manis. Selain membuat anak-anak setempat mau belajar dan perlahan memahami cara membaca, menulis dan berhitung, dia berhasil mendulang rezeki.
Belum lama ini sebuah perusahaan yang memfokuskan salah satu program CSR-nya pada pendidikan mengganjar inovasi Aji dengan penghargaan untuk kategori "Inovasi Karya Guru" dan uang sebesar Rp15 juta.
Oleh Lia Wanadriani Santosa
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2016