"Untuk tembaga, pemerintah take over (ambil alih) saja, tawarkan ke pihak lain. Ditanyakan, Freeport mau bangun (smelter) tidak? Kalau tidak, pemerintah carikan investor lain," kata Ketua Asosiasi Smelter Indonesia R Sukhyar dalam diskusi tentang larangan ekspor mineral mentah di Jakarta, Kamis.
Mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM itu menuturkan pemerintah bisa saja memfasilitasi agar ada investor yang masuk untuk memurnikan konsentrat tembaga Freeport jika perusahaan itu terus menunda penyelesaian smelter.
Hal itu juga berlaku untuk sejumlah perusahaan tambang besar lainnya seperti Newmont Nusa Tenggara dan Gorontalo Mining yang belum juga menyelesaikan kewajiban membangun smelter.
"Lebih bagus ditawarkan saja ke sektor swasta konsentrat ini. Dikontes dengan fiskal yang menarik, saya yakin ada yang mau," ujarnya.
Menurut dia, saat kebijakan larangan ekspor mineral mentah diberlakukan Januari 2014, di mana perusahaan tambang diwajibkan membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian, sudah ada tiga perusahaan yang tertarik dengan potensi bisnis tersebut.
Ketiga investor lokal itu menyatakan minat untuk membangun smelter dengan pasokan konsentrat dari perusahaan tambang raksasa yang masih enggan membangun smelter.
"Masalahnya hanya soal kesinambungan pasokan dan teknis lainnya. Tidak perlu payung hukum karena itu business to business," tambahnya.
Menurut Sukhyar, skema tersebut patut dicoba. Pasalnya, Indonesia memiliki keunggulan pasokan besar guna memenuhi kebutuhan tembaga di kawasan regional.
China menjadi salah satu negara yang paling potensial untuk ditawari peluang bisnis tersebut lantaran permintaannya akan tembaga cukup tinggi di Asia.
"Di Asia Tenggara itu kebutuhan tembaga untuk 2016 mencapai 1 juta ton per tahun. Jika produksi satu smelter di Gresik 300 ribu ton konsentrat, tinggal tambah lagi yang seperti itu untuk mengisi pasar yang ada," jelasnya.
Pewarta: Ade Irma Junida
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016