Sukses berbisnis kain songket di era "medsos"

24 Desember 2016 11:03 WIB
Sukses berbisnis kain songket di era "medsos"
ilustrasi - Penjaga stan memajang koleksi tas aplikasi tenun songket Palembang pada pameran Fashion Hijab dan Aksesoris Mall to Mall di salah satu Mall Kota Palembang, Sumsel, Kamis (3/11/2016). (ANTARA FOTO/ Feny Selly)
Nyayu Nur Khomariah (32) merupakan salah seorang wirausaha perempuan sukses di Kota Palembang dengan galerinya, "Rumah Songket Adis" yang telah eksis selama 10 tahun.

Adis, sapaan akrab Nyayu, berani memulai usaha ini karena sudah tidak asing dengan kain songket. Ibunya merupakan penenun songket yang memperkerjakan sekitar 30 orang berasal dari luar kota.

Namun, siapa sangka, usaha yang kini sudah meraup omzet ratusan juta Rupih itu justru sama sekali tidak disukainya. Bahkan sejak lama ia mengindam-idamkan menjadi pekerja kantoran.

"Saya itu sebenarnya tidak suka dengan kegiatan menenun, karena rumah jadi kotor. Saya ingat saat teman-teman sekolah akan datang ke rumah, terpaksa repot karena harus bersih-bersih," kata Adis, mengenang.

Semua berawal dari keputusannya untuk berhenti bekerja di sebuah bank BUMN terkemuka lantaran ditempatkan di Muaro Bungo, Jambi.

Pemenang kompetisi kain sutra tingkat nasional tahun 2015 ini pun akhirnya melihat pekerjaan ibunya yang setiap hari menghasilkan beberapa lembar songket untuk disuplai ke sejumlah butik di Palembang dan Jakarta sebagai suatu peluang emas.

Saat itu tahun 2007, ia hanya bermodalkan sebuah laptop yang diperoleh dengan cara kredit, dan laman di akun media sosial friendster.

"Saya mulai masukkan foto-foto songket, dipilih yang bagus. Lama-lama ada yang pesan dari luar Palembang karena orang tahunya beli songket itu hanya di Palembang," kata pemenang ajang wirausaha muda mandiri Bank Mandiri se-Sumatera tahun 2012 ini.

Lambat laun usaha pun berkembang, dan kediaman orang tuanya tidak lagi memungkinkan untuk dijadikan tempat berdagang. Selain sempit juga kurang represtatif.

Lalu, peraih Upakarti bidang Kepeloporan Wirausaha ini memutuskan untuk membuka toko di kawasan perbelanjaan Ilir Barat Permai, Palembang.

Untuk itu dibutuhkan pasokan barang yang cukup banyak untuk dipajang di etalase toko sehingga mengambil barang cukup banyak dengan cara berhutang, yang pembayaran diberikan tempo waktu tiga bulan.

Mungkin karena usaha ini berkembang membuat pemasok barang kurang suka mengingat keuntungan yang diperoleh Adis jauh lebih besar jika dibandingkan mereka sehingga mulai mengubah kesepakatan.

"Pemasok minta langsung dibayar dengan nominal Rp50 juta. Jika tidak maka barang akan ditarik, dan benar saja, semua barang diambil. Saya pun harus gigit jari," kata Adis dalam seminar bertema "Ayo Berani Berwirausaha" di Palembang, Kamis (22/12)..

Guncangan pun bukan sebatas itu, Adis terpaksa kembali berdagang ke rumah ibunya karena toko tempat berjualan terpaksa ditutup pemerintah terkait rencana tata ruang.

Padahal ketika itu, ia sudah membayar uang sewa selama tiga tahun. "Saya sampai menggugat ke DPR," ujar dia.

Tapi kegagalan itu bukannya membuat Adis menyerah. Justru ia semakin terpacu untuk meraih kesuksesan dengan meningkatkan kapasitas diri, termasuk salah satunya bergaul dengan kalangan sosialita mengingat membidik segmen kalangan menengah atas.

Salah satu strategi jitu yang diterapkan, yakni tetap menjaga keunikan dan kualitas produk yang menurutnya merupakan kunci sukses untuk berbisnis online melalui media sosial.

"Saat ini berjualan jauh lebih mudah, karena bisa tidak pakai modal mengingat ada facebook, instagram, dan media sosial lainnya. Tapi, tantangannya juga ada, karena mudah jadi banyak juga yang pakai, jadi harus bisa menghasilkan produk yang unik tapi berkualitas," kata Adis.

Jika seseorang dapat menghasilkan dan menjual produk yang unik, tapi berkualitas maka bisa dipastikan akan memiliki pasar tersendiri.

"Contohnya, songket. Jelas beda berjualan sepuluh tahun lalu dengan sekarang. Saat ini banyak yang jual songket, pembeli pun sampai binggung memilih, tapi jika bisa menjual songket yang memiliki keungulan, misalnya dari sisi fashion (unik) dan berkualitas, pasti akan ada segmen pembelinya," kata Adis.

Ia yang memulai bisnis sejak tahun 2007 ini mengatakan hingga kini memiliki pasar tersendiri, yakni kalangan menengah ke atas mengingat harga songket yang ditawarkan relatif tinggi, yakni per lembar berkisar Rp3 juta hingga Rp4 juta.

Meski demikian, pangsa pasar tetap terjaga karena Adis tetap menjaga kualitas.

Kain songket yang dijual berasal dari penenun berpengalaman yang sejak lama menjadi mitra. Untuk menjaga bagaimana hubungan baik dengan penenun, Adis juga memiliki resep sendiri.

Ia pun cukup beruntung karena memiliki kepandaian dalam mendesain pakaian yang dipelajari secara otodidak membuat bisnisnya berkembang.

Bahkan prestasinya, yakni menjadi penyedia kostum atlet saat defile Olimpiade Beijing tahun 2008 dengan meraup untung Rp40 juta ketika itu.

"Awalnya saya hanya jual kain, lama-lama berkembang juga membuat setelannya dengan kebaya. Kini saya sedang mempersiapkan fashion show tunggal untuk memperingati 10 tahun Rumah Songket Adis," kata dia.

Pameran tunggal ini akan dedikasikan ke orang-orang yang selama ini telah mendukungnya dan Sumatera Selatan sendiri karena sudah diwarisi karya bernilai tinggi dari nenek moyang, yakni kain songket.

Sementara itu Kepala Program Pendidikan Palcomteck Palembang Febrianti mengatakan apa yang dilakukan Adis saat ini sudah diterjemahkan dunia pendidikan di tingkat perguruan tinggi.

Jika Adis memulai bisnis secara ototidak dan dilakukan setelah lulus kuliah, maka berbeda dengan saat ini. Kini tidak heran jika ada mahasiswa yang sudah berwirausaha meski mereka masih berstatus mahasiswa.

Hal ini ditunjang dengan kemudahan informasi di era media sosial. Bagi mereka yang pandai memanfaatkan peluang maka sudah mampu mendapatkan uang meski sedang kuliah.

"Bahkan saat ini mahasiswa ditantang uji nyali untuk merealisasikan rencana bisnis yang mereka buat. Dan mengejutkan, beberapa di antaranya sudah berhasil," kata dosen bidang kewirausahaan ini.

Iklim bisnis rintisan (startup) di Indonesia terus berkembang dengan nilai bisnis e-commerce mencapai 18 miliar dollar AS dan ditargetkan dalam lima tahun akan tumbuh 10 kali lipat.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengajak generasi muda Indonesia untuk melek teknologi agar menjadi pebisnis startup atau usaha rintisan digital.

"Untuk menumbuhkan iklim startup dan iklim bisnis Indonesia maka dibutuhkan tenaga-tenaga industri yang unggul," katanya.

Negara sudah mengeluarkan Peta Jalan e-commerce yang menjadi acuan pemangku kepentingan, di samping adanya berbagai peraturan/ketentuan yang mendorong tumbuh kembangnya e-commerce.

Oleh karena itu, pemerintah harus bisa memberikan kepastian dan kemudahan berusaha dalam memanfaatkan e-commerce dengan menyediakan arah dan panduan strategis untuk mempercepat pelaksanaan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik pada periode 2016-2019.

Indonesia adalah salah satu pengguna internet terbesar di dunia, mencapai 93,4 juta orang dan pengguna telepon pintar (smartphone) mencapai 71 juta orang.

Dengan potensi yang begitu besar, pemerintah menargetkan bisa tercipta 1.000 technopreneurs dengan valuasi bisnis sebesar 10 miliar dolar AS dan nilai e-commerce mencapai 130 miliar dolar AS pada 2020.

Oleh Dolly Rosana
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016