CI melalui siaran persnya di Jakarta, Kamis, mencatat bahwa dalam penelitian tersebut ditemukan daerah sebaran spesies hiu berjalan di cincin utara Benua Australia, Papua Nugini, perairan Papua Barat, Halmahera dan Aru.
Empat spesies endemik atau hanya ada di Indonesia, antara lain adalah Hiu Berjalan Raja Ampat (Hemiscyllium freycineti), Hiu Berjalan Teluk Cendrawasih (Hemiscyllium galei), Hiu Berjalan Halmahera (Hemiscyllium halmahera), dan Hiu Berjalan Teluk Triton Kaimana (Hemiscyllium henryi).
Sedangkan, satu spesies lainnya, yaitu Hemiscyllium trispeculare ditemukan di perairan Aru Maluku, namun spesies ini hidup juga di pantai utara dan barat Benua Australia.
Spesies ini disebut sebagai hiu berjalan karena gerakan siripnya seperti hewan melata, terutama di perairan dangkal, dan umumnya bisa dilihat pada malam hari.
Kelompok hiu berjalan secara taksonomi sering disebut dengan hiu bambu (bamboo shark) dan termasuk dalam genus Hemiscyllium.
Hiu berjalan endemik Indonesia dari jenis Hemiscyllium freycineti ditemukan pertama kali di Raja Ampat pada tahun 1824. Pada tahun 2008, H. henryi ditemukan di perairan Kaimana dan H. galei ditemukan di Teluk Cenderawasih.
Sedangkan, H. halmahera ditemukan perairan Halmahera pada tahun 2013.
Temuan yang didukung oleh Mark Erdmann dan Gerald Allen dari CI dan Western Australian Museum ini merupakan perkembangan hasil temuan sebelumnya yang menunjukkan daerah sebaran yang luas di bagian utara Benua Australia, Papua Nugini, hingga Seychelles di Samudra Hindia dan Pulau Solomon di Pasifik.
Pengawasan secara berkala yang dilakukan oleh CI di perairan Papua Barat menyimpulkan bahwa populasi hiu berjalan berada dalam ancaman serius karena daerah sebarannya yang terbatas daripada perkiraan sebelumnya.
Spesies unik itu berpotensi mendapat ancaman lebih besar, seperti penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab, tumpahan minyak, peningkatan suhu, bencana, seperti angin siklon dan tsunami, kerusakan pantai, pembangunan wilayah pesisir dengan cara reklamasi, serta perkembangan industri pariwisata yang tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungan.
Marine Program Director CI Indonesia Victor Nikijuluw mengungkapkan, selain hiu konvensional dan hiu paus yang menjadi daya tarik pariwisata, hiu berjalan adalah daya tarik lainnya.
Menurut dia, dengan melakukan penyelaman dangkal (snorkling) atau berperahu di perairan dangkal, maka seseorang dapat menjumpai hiu berjalan.
Namun, ia pun khawatir karena spesies itu mudah ditemukan, maka ancaman keberlanjutan hidupnya juga semakin besar.
Oleh karena itu, ia berpendapat, sebaiknya spesies itu tidak diganggu ketika seseorang berwisata di pesisir, dan jangan merusak terumbu karang serta padang lamun yang merupakan habitat serta tempat hiu memijah.
Kerusakan habitat dapat mengancam kelestariannya, sedangkan bila dikonservasi dengan baik maka kehadiran spesies ini akan menjadi pesona pariwisata yang unik dan meningkatkan nilai pariwisata, kata Victor.
Ia menuturkan, CI akan terus bekerjasama dengan penduduk lokal, pemerintah daerah dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam melakukan penelitian dan upaya-upaya konservasi spesies-spesies hiu berjalan.
Rencana Aksi Nasional (RAN) yang sudah dirumuskan terhadap spesies hiu akan diperluas cakupannya, termasuk hiu berjalan. Selain itu, pembangunan pariwisata secara berkelanjutan di Kabupaten Raja Ampat dan Kaimana, Papua Barat akan terus memperhatikan keberlanjutan spesies yang unik ini.
Pakar hiu dari LIPI, Fahmi, menjelaskan bahwa sebaran hiu berjalan yang terbatas disebabkan karena spesies itu memiliki sifat biologi yang unik, seperti kemampuan berenang yang terbatas dan amat tergantung pada habitat dan kedalaman tertentu sehingga tidak sanggup bergerak jarak jauh dan tidak memiliki potensi sebaran yang tinggi.
Selain itu, ia mengemukakan, tipe reproduksi dari kelompok hiu ini adalah dengan meletakkan telurnya pada substrat tertentu untuk kemudian menetas dan berkembang menjadi individu dewasa pada habitat yang sama.
Fahmi mengatakan hasil temuan ini akan dikomunikasikan kepada pemerintah daerah sebagai pengelola kawasan pesisir untuk mendorong perlindungan bagi spesies hiu berjalan di Indonesia.
Menurut dia, sejauh ini baru spesies Hemiscyllium freycineti yang ada di Raja Ampat dan dilindungi oleh Perda No. 9 Tahun 2012 mengenai Larangan Penangkapan Ikan Hiu, Pari Manta, dan Jenis-jenis Ikan Tertentu di Perairan Laut Raja Ampat.
Padahal, ia menilai, menanggapi ancaman yang dihadapi oleh spesies hiu berjalan, maka perlu ada perlindungan yang menyeluruh terhadap semua spesies hiu berjalan yang ada di Indonesia.
Saat ini kelompok hiu berjalan merupakan kelompok ikan hiu yang sering dijadikan ikan hias dan memiliki nilai jual tinggi di pasaran internasional.
Beberapa negara maju, dinilainya, bahkan sudah melakukan upaya budi daya spesies hiu berjalan untuk kepentingan komersial.
Perlunya upaya pengelolaan terhadap jenis hiu ini dan habitatnya amat diperlukan, agar jangan sampai jenis hiu tersebut banyak ditemukan di akuarium-akuarium ikan hias namun sulit ditemukan di habitat aslinya, demikian Fahmi.
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2017