Sutradara muda Yosep Anggi Noen yang menceritakan masa-masa pelarian Wiji.
Anggi mengutip salah satu judul puisi Wiji tahun 1988 yaitu "Istirahatlah Kata-Kata".
"Puisi tersebut masih kontekstual dengan wajah demokrasi saat ini, banyak orang yang mengumbar kata-kata seolah demokrasi adalah kebebasan absolut mereka tidak melihat di balik kebebasan itu ada tanggung jawab untuk menjadikan masyarakat yang lebih bermartabat," katanya.
Anggi mengutip salah satu judul puisi Wiji tahun 1988 yaitu "Istirahatlah Kata-Kata".
"Puisi tersebut masih kontekstual dengan wajah demokrasi saat ini, banyak orang yang mengumbar kata-kata seolah demokrasi adalah kebebasan absolut mereka tidak melihat di balik kebebasan itu ada tanggung jawab untuk menjadikan masyarakat yang lebih bermartabat," katanya.
Dalam film tersebut Anggi tidak menitikberatkan kegarangan Wiji Thukul dalam mengkritik pemerintah, dia memilih untuk merepresentasikan Wiji sebagai manusia biasa, yang memiliki rasa takut, kesepian dan rindu pada keluarganya saat dia berusaha melarikan diri ke Pontianak.
"Wiji Thukul itu orangnya menarik, anaknya pernah bilang seperti ini: Bapakku seperti puisi, singkat dan misterius. Artinya Wiji Thukul itu tokoh yang riang, lucu, agitatif, sangat cerdas, dia juga membca banyak buku, haus ilmu, tapi di sisi lain dia kesepian. Ruang sepi itu yang saya coba bangun. Dalam kesepian itu kompleksitas manusia muncul seperti rasa takut, apalgi jika sendiri dalam status sebagai buronan. Perasaan seperti itu yang saya coba hadirkan," kata Anggi.
Alasan Anggi mengambil waktu Wiji menjadi buronan karena itu adalah masa Wiji Thukul bertemu orang baru, berhadapan dengan lingkungan baru dan harus berlindung dan bersembunyi dari banyak orang.
"Dalam perjalanan itu Wiji Thukul juga perlahan memupuk keberanian untuk keluar dari persembunyian dan berinteraksi dengan masyarakat keseharian," kata dia.
Dalam film tersebut Anggi menyoroti kehidupan sehari-hari Wiji Thukul selama melarikan diri sama seperti puisi Wiji Tuhukul yang dapat mencatat peristiwa sehari-hari.
"Film ini dibuat sebagai upaya melihat Wiji Thukul mencatat keseharaian ke dalam kata-kata yang kuat," kata dia.
Film yang pengambilan gambarnya di Pontianak dan Yogyakarta ini bertujuan untuk mengenalkan generasi muda kepada sosok dan semangat penyair yang aktif di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker).
Anggi mengaku awalnya ia tidak terlalu suka dengan puisi Wiji Thukul, perkenalan pertamanya dengan puisi Thukul adalah pada 1990-an ketika tetangganya membawa puisi berjudul "Tikar Plastik Tikar Pandan" (1988).
"Saya yang berasal dari keluarga guru Bahasa Indonesia melihat puisi tersebut seperti catatan harian. Waktu itu saya lebih suka baca puisi Taufiq Ismail, Chairil Anwar atau Rendra. Tapi perlahan-lahan puisi ini ternyata lebih kontekstual untuk merekam zaman, untuk merekam hari ini," kata dia.
Untuk itu dia pun merasa perlu menghadirkan tokoh tersebut agar anak-anak muda dapat mengenal sosok yang kuat dalam menyerap situasi sosial pada saat itu dan yang melakuakn perlawanan dengan puisi.
Membangun Karakter
Anggi tak pernah mengenal aktivis Partai Rakyat Demokratik itu secara langsung, tetapi Anggi dapat menggambarkan situasi batin dan hal-hal yang dialami Wiji Thukul selama pelarian lewat puisi-puisinya.
"Puisinya seperti catatan harian, kita bisa tahu bagaimana saat dia masih kecil, saat dia bekerja ini itu, saat dia berorganisasi dan bagaimana dia melihat ketertindasaan dan juga melihat ruang sepi. Seperti puisi Kucing, Ikan Asin dan Aku, kita tahu kalau dia pernah berebut makanan dengan kucing," kata dia.
Untuk merekonstruksi kembali sosok Wiji, dia juga menggabungkan karakter dua orang anak Wiji yaitu putrinya Fitri Nganthi Wani yang cerdas dan putranya Fajar Merah yang tengil.
Setelah itu Anggi memberikan kebebasan kepada Gunawan Maryanto yang berperan sebagai Wiji Thukul untuk mencitrakan kembali Wiji.
"Tentu wujudnya tidak sangat mirip tetapi Gunawan berhasil menguasai semangat Wiji," kata dia.
Anggi membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk melakukan riset sebelum membuat film tersebut. Dia bertemu dengan kawan-kawan Wiji Thukul untuk menceritakan kembali seperti apa Wiji. Kemudian ia membaca literatur di perpustakaan Ohio State University dan KITLV.
"Saya bisa tahu tulisan tangan Wiji Thukul dari arsip yang disimpan oleh KITLV, dan saya membaca percakapan di milis "Apa Kabar Indonesia" yang ada pada 1990-an di perpustakaan Ohio State University," kata dia.
Untuk membuat latar menjadi nyata, dia juga banyak melihat iklan di koran lama.
"Di iklan banyak gambar, misalnya rumah zaman dulu kayak apa, saya menganggap itu sebagai sejarah pinggiran," kata dia.
Anggi juga berupaya merangkum puluhan puisi-puisi Wiji dari awal hingga akhir dia menulis ke dalam film berdurasi 98 menit.
"Jadi banyak puisi Wiji Thukul yang ditulis tahun 80-an saya masukkan situasinya ke dalam jenjang waktu 96 samppai 97 awal itu. Buat saya sinema itu harus mampu melampaui waktu dan mampu menjadikan dursasi dapat merangkum waktu yang lebih banyak," kata dia.
Oleh Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017