"Penertiban ini memang kami kendalanya hanya terbatas di anggota. Kalau ada laporan pelanggaran dan bukan anggota kami lepas," ujar Ketua Serikat Tukang Gigi Indonesia (STGI) Dwi Waris Supriyanto kepada Antara di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan pihaknya melakukan penertiban setiap kali ada pelaporan tukang gigi melanggar peraturan pada pengurus wilayah dan ditindaklanjuti pengurus kota/kabupaten.
Sanksi yang diberikan serikat kepada anggota yang melanggar Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014, antara lain melakukan layanan selain pemasangan gigi palsu lepasan, adalah sanksi teguran dan penolakan pemberian rekomendasi.
"Sanksi teguran sampai tiga, kalau masih melanggar tidak diberikan rekomendasi karena legalitas rekomendasi kan hanya di organisasi," kata Dwi.
Ia menuturkan pelanggaran yang paling banyak ditemukan adalah pemasangan kawat gigi serta cabut gigi.
Ada pun anggota STGI kini sebanyak 25 ribu di seluruh Indonesia, jumlahnya anjlok jauh dibanding pada 2011, menurut Dwi, hingga 100 ribu.
Penurunan anggota, diperkirakannya karena usaha tersebut kini mulai sepi konsumen serta sulit untuk mendapatkan izin dari dinas kesehatan.
Kendala untuk mendapatkan izin kini, ujar Dwi, salah satunya adalah syarat izin mendirikan bangunan (IMB) tempat praktik karena sebagian besar tukang gigi menyewa tempat untuk praktik.
Padahal, ia berpendapat semakin sulit mendapatkan izin, tukang gigi akan semakin sulit untuk ditertibkan dan diawasi.
Secara garis besar ketentuan tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan gigi di Indonesia diantaranya diatur dalam UU No 29 Thaun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, PMK 89 tahun 2015 tentang Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut serta PMK 39 tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan Pekerjaan Tukang Gigi.
Pewarta: Dyah DA
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017