"Karena untuk kembali atau pun mengubah UUD 1945 yang asli itu tidak bisa dilakukan secara satu paket, harus pasal per pasal. Sehingga, sangat sulit membayangkan kita kembali ke UUD 1945 yang asli," kata Mahfud dalam Diskusi Kelompok Punakawan di Gedung MURI, Jakarta Utara, Rabu malam.
Menurut dia, pernah ada pemikiran untuk kembali ke UUD 1945 yang asli melalui Dekrit Presiden. Namun, pemikiran itu akan sangat sulit untuk direalisasikan karena empat alasan.
"Pertama, aspirasi untuk kembali ke UUD 1945 yang asli itu belum menjadi arus umum. Tampaknya masih banyak yang mempunyai alternatif lain," ujar Mahfud.
Kedua, kekuasaan sekarang ini sudah terbagi-bagi secara meluas, sehingga presiden tidak sekuat zaman dulu yang dapat mengambil tindakan sepihak dengan menggunakan dalil "salus populi suprema lex" yang berarti keselamatan rakyat adalah hukum yang paling tinggi.
Ketiga, yakni Mahkamah Agung saat ini tidak lagi berada di bawah presiden, seperti yang terjadi pada masa lalu, sehingga tidak mudah untuk diminta memberi dasar pembenaran atas sebuah dekrit.
"Alasan terakhir, yaitu karena sekarang ini ada Mahkamah Konstitusi yang wajib menjaga tegaknya konstitusi yang berlaku. Jadi, perubahan hanya mungkin dilakukan melalui penggalangan politik rakyat yang bermuara di MPR," tutur Mahfud.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan sejak UUD 1945 dinyatakan berlaku, banyak sekali protes yang muncul atas pelaksanaannya. Banyak masalah kebangsaan yang tidak teratasi, pluralisme agak terganggu, serta Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) semakin merajalela, sehingga muncul ide agar lembali ke UUD 1945 yang asli.
"Mungkin ide untuk kembali ke UUD 1945 itu mengandung niat baik dan nilai-nilai kebenaran, karena UUD tersebut dibuat langsung oleh para pendiri negara, sehingga mengandung nilai-nilai luhur," ungkap Mahfud.
Akan tetapi, dia menambahkan, terap harus diingat bahwa dari catatan perjalanan sejarah, setiap ada UUD baru, selalu disusul dengan protes agar segera diubah kembali.
"Dalam hal itu, ada pelajaran bahwa yang tidak kalah penting untuk dipersoalkan adalah mengenai konstitusi penyelenggara negara dalam berkonstitusi, bukan hanya konstitusinya itu sendiri," tutup Mahfud.
Pewarta: Cornea Khairany
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017