Kepala BMKG, Andi Eka Sakya, usai melepas ekspedisi di Dermaga Perikanan Muara Baru, di Jakarta, Senin, menyatakan, ekspedisi Indonesia Prima pada 2015 dan 2016 hanya mengamati permukaan dan di atas, misalnya terkait konsentrasi karbon di atmosfer, perubahan temperatur di permukaan serta keadaan curah hujan dan lainnya.
Sementara ekspedisi kali ini meneliti dalam laut terutama untuk meneliti sesar (patahan) baru, di antaranya patahan yang memicu gempa Bumi, di Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh, pada Desember 2016.
"Contoh yang paling konkrit dalam gempa bumi ini kita harus memetakan sesar yang baru. Dengan fasilitas yang ada di Baruna Jaya VIII echo sounder kita bisa memetakan aktivitas dan fenomena laut sampai pada 7.000 meter di dalam laut," tambah Sakya.
Dia menjelaskan, anggaran untuk ekspedisi kali ini mencapai Rp5 miliar, untuk membiayai perawatan dan pembaruan buoy/mooring laut ATLAS yang merupakan bagian dari dari Program Penelitian RAMA (Research Moored Array for African-Asian-Australian Monsoon Analysis and Prediction) dengan memasang rangkaian buoy mooring laut dalam.
Dari ekspedisi kemaritiman ini, diharapkan dapat diperloleh data kelautan yang nanti berguna untuk mengkaji fenomena cuaca dan iklim yang kerap berdampak bagi perekonomian dan kehidupan masyarakat Indonesia.
Di antaranya fenomena El-Nino and Southern Oscillation di Kawasan Pasifik dan fenomena Indian Ocean Dipole di Samudera Hindia sangat berperan pengaruhnya dalam mewarnai iklim wilayah Indonesia.
Bagi Indonesia, Indonesia Prima salah satu dari tiga program utama yang menjadi prioritas agenda pembangunan kemaritiman, yakni observasi laut.
Ekspedisi kelautan itu digelar bersama oleh BMKG, LIPI, dan NOAA, pada 20 Februari hingga 16 Maret 2017, yang menempuh dua rute, yaitu mulai dari Jakarta, Samudera Hindia, Sabang, dan rute Sabang, Pidie, Selat Malaka, Jakarta.
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017