Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tengah fokus melaksanakan program hilirisasi industri berbasis sumber daya alam (SDA) sebagai upaya untuk memaksimalkan peningkatan nilai tambah di dalam negeri, sehingga mampu mendongkrak kontribusi sektor manufaktur terhadap perekonomian nasional.
Kebijakan hilirisasi ini dinilai juga akan memperkuat daya saing dan struktur industri nasional sekaligus menumbuhkan populasinya.
“Upaya ini dapat pula memberikan dampak luas terhadap perekonomian nasional melalui penyerapan tenaga kerja dan penerimaan devisa negara,” kata Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) I Gusti Putu Suryawirawan di Makassar, Kamis, melalui siaran pers.
Hal tersebut sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, di mana pemerintah memacu program hilirisasi melalui industri pengolahan dan pemurnian atau smelter.
“Smelter merupakan industri padat energi dan padat modal,” ungkap Putu.
Menurutnya, pembangunan industri smelter di dalam negeri berjalan cukup baik, terutama yang berbasis logam. Sejauh ini, terdapat 32 proyek smelter logam yang tumbuh dengan perkiraan nilai investasi sebesar USD 18 miliar, penyerapan tenaga kerja langsung sebanyak 28 ribu orang, yang pembangunannya tersebar di 22 kabupaten/kota dan 11 provinsi.
“Kelanjutan dari 32 proyek tersebut, sebanyak 20 proyek sudah 100 persen rampung, 9 proyek dalam tahap pembangunan, dan 3 proyek dalam tahap perencanaan,” sebut Putu.
Dari jumlah smelter tersebut, terdapat 22 industri yang telah bergabung dengan Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) dan 75 persen telah beroperasi secara komersial.
Putu optimistis, Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan industri smelter berbasis logam karena termasuk dari 10 besar negara di dunia dengan cadangan bauksit, nikel, dan tembaga yang melimpah.
“Untuk pengembangan industri berbasis mineral logam khususnya pengolahan bahan baku bijih nikel, saat ini difokuskan di kawasan timur Indonesia. Misalnya, di Kawasan Industri Morowali - Sulawesi Tengah, Kawasan Industri Bantaeng - Sulawesi Selatan dan Kawasan Industri Konawe - Sulawesi Tenggara,” paparnya.
Perlu diketahui, Kawasan Industri Morowali seluas 2.000 hektar dikelola oleh PT Indonesia Morowali Industrial Park (PT IMIP). Kawasan terintegrasi ini akan menarik investasi sebesar USD 6 miliar atau mencapai Rp 78 triliun dengan menyerap tenaga kerja langsung sekitar 20 ribu orang dan tidak langsung sebanyak 80 ribu orang.
Kemudian, Kawasan Industri Bantaeng memiliki luas 3.000 hektare yang diperkirakan akan menarik investasi sebesar USD USD 5 miliar atau setara Rp55 triliun, dengan Harbour Group bertindak sebagai investor.
Sedangkan, untuk Kawasan Industri Konawe, diprediksi akan menarik investasi sebanyak Rp28 triliun. Bertindak sebagai anchor industry di kawasan ini adalah Virtue Dragon Nickel Industry, dengan penyerapan tenaga kerja sekitar 18 ribu orang.
Menurut Putu, langkah hilirisasi juga merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian, yang pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2015 tentang Sumber Daya Industri.
Dalam peraturan tersebut, diatur mengenai pemanfaatan sumber daya alam secara efisien,ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
Selanjutnya, pelarangan atau pembatasan ekspor sumber daya alam dalam rangka peningkatan nilai tambah Industri guna pendalaman dan penguatan struktur Industri dalam negeri, serta jaminan ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam untuk Industri dalam negeri.
Pusat Unggulan
Pada kesempatan tersebut, Putu meminta kepada Universitas Hasanuddin agar bisa mengembangkan center of excellence untuk bidang mineral logam. “Karena mengolah barang tambang tidak mudah, tetapi kita punya banyak tambang nikel. Kalau teknologinya tidak juga didukung, yang keluar bukan stainless steel, malah ternyata bisa lumpur,” ujarnya.
Putu berharap, apabila nanti ada pusat desain dan rekayasa untuk mineral logam, Sulawesi akan kaya dengan produk nikel dan logam ikutan lainnya.
Menanggapi permintaan tersebut, Wakil Rektor bidang Inovasi dan Kerjasama Universitas Hasanuddin, Budu mengatakan, pihaknya siap melaksanakan program jurusan untuk mineral logam karena di fakultas teknik telah didukung sebanyak 100 engineer lulusan luar negri.
“Kalau Unhas diberikan tugas khusus oleh Kemenperin seperti itu, kami siap untuk melaksanakan,” ungkapnya.
Staf Khusus Menperin, R. Sukhyar mengatakan, Indonesia berpeluang punya keunggulan komparatif dalam pengembangan nikel hingga mencapai produk final.
“Apalagi, di Sulawesi sebenarnya terdapat sumber chrome. Untuk itu perlu dikembangkan lagi,” ujarnya.
Pewarta: Try Reza Essra
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2017