Mereka menuntut pemerintah Jerman Timur atau Republik Demokratik Jerman (Deutsche Demokratische Republik/DDR) yang berhaluan komunis ala Uni Soviet untuk mereformasi sistem negara yang dianggap gagal menyejahterakan masyarakat.
Dalam "One Country, Two Societies? Germany Twenty Years After Reunification" (2011) Marta Zawilska-Florczuk dan Artur Ciechanowicz dari Pusat Studi Dunia Timur Polandia (OSW) menyatakan bahwa unjuk rasa tersebut karena penduduk DDR merasa muak dengan krisis ekonomi berkepanjangan.
"Mereka juga termotivasi gerakan perestroika Mikhail Gorbachev di Soviet," tulis Marta dan Artur, merujuk pada gerakan reformasi pada tahun 1980-an di Uni Soviet yang dipimpin Gorbachev.
Tak pelak, gerakan massa itu membuat Ketua Komite Pusat Partai Sosialis Persatuan Jerman (SED) di DDR yang baru bekerja pada Oktober 1989, Egon Krenz, merasa resah. Impian untuk mendirikan negara bersistem komunis seperti apa yang diterapkan Joseph Stalin di Uni Soviet hampir musnah karena mereka lambat laun harus menyerah di hadapan Jerman Barat yang didukung negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris dan Prancis.
Dan yang dikhawatirkannya terjadi. Pada 9 November 1989, Berliner Mauer atau dalam bahasa Indonesia disebut Tembok Berlin, tembok pemisah Jerman Barat dan Jerman Timur yang dibangun untuk menekan jumlah perpindahan penduduk dari Timur ke Barat, dibuka untuk lalu lintas penduduk kedua negara.
Sejak kebijakan itu, bangunan batu setinggi 3,6 meter dan mengelilingi wilayah Jerman Timur yang berdiri sejak 13 Agustus 1961 atas prakarsa penguasa SED sebelum Egon, Erich Honecker ini pun tidak lagi menjadi momok menakutkan. Tidak perlu lagi eksodus sembunyi-sembunyi ke "tetangga" karena penjagaan sudah ditiadakan.
Lalu lintas itu membuat Tembok Berlin runtuh sedikit demi sedikit sampai akhirnya pada 3 Oktober 1990, Jerman Barat dan Jerman Timur menyatakan bersatu di bawah Republik Federasi Jerman (Bundesrepublik Deutschland).
Berkaca dari Tembok Berlin
Pasca-runtuhnya Tembok Berlin, Republik Jerman langsung berbenah diri. Hal yang utama dilakukan adalah menstabilkan keadaan ekonomi.
Sejak 7 Februari 1990, Jerman Timur dan Jerman Barat menyepakati penyatuan ekonomi dan moneter kemudian secara resmi menandatanganinya pada 18 Mei 1990. Salah satu perwujudannya adalah dengan memberlakukan mata uang Deutsche Mark menjadi mata uang tunggal (Marta dan Artur, 2011).
Tentu saja itu bukan sesuatu yang mudah. Rakyat Jerman sudah terbiasa hidup terpisah sejak ditandatanganinya Perjanjian Postdam usai Perang Dunia II tahun 1945.
Beberapa tahun usai penyatuan, perekonomian Jerman mulai menunjukkan taji. Laporan Komisi Eropa tahun 2002 berjudul "Germanys Growth Performance in the 1990s", menyebut pertumbuhan ekonomi di negara yang kini dipimpin Kanselir Angela Merkel dari pertengahan 1990-2001 berada di kisaran 1,6 persen per-tahun.
Walau turun hampir sekitar satu persen dibandingkan keadaan Jerman Barat sebelum reunifikasi, Republik Federasi Jerman dapat mengendalikan keadaan dengan baik dan saat ini menjadi kekuatan ekonomi terbesar di Eropa.
Berdasarkan catatan media internasional Jerman Deutsche Welle (2013), PDB di Jerman bagian timur meningkat dari 43 persen menjadi 71 persen dibandingkan PDB Jerman bagian barat pada tahun 2011.
Kemudian, upah di Jerman bagian timur juga meningkat dari hanya 50 persen menjadi 80 persen dibandingkan di Barat.
Pencapaian Jerman melalui peruntuhan Tembok Berlin sejatinya bisa dijadikan pembelajaran oleh PSSI melalui pelaksanaan Piala Presiden 2017, bahwa bersatu merupakan cara terbaik mencapai cita-cita bersama.
Robohnya Tembok "Sanksi FIFA"
Jumat, 13 Mei 2016, menjadi hari bersejarah bagi persepakbolaan Indonesia. Ketika itu, dalam Kongres ke-66 di Meksiko, Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) mencabut seluruh sanksi atas Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang sudah diberikan sejak 30 Maret 2015.
Keputusan itu pantas disambut dengan sujud syukur. Pasalnya, sanksi itu sudah membuat persepakbolaan Indonesia terkucil dan terisolasi dari dunia internasional.
Seperti Tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur, sanksi FIFA itu menjadi simbol pemisah dua kubu berseberangan pandangan yaitu pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga serta PSSI.
Pergesekan pemahaman yang sampai ke ranah hukum tersebut membuat masyarakat resah. Beberapa kali unjuk rasa dilakukan, persis seperti apa yang dilakukan masyarakat Jerman Timur terhadap pemerintah DDR.
Wakil rakyat di DPR RI mendesak semua pihak menahan diri demi keutuhan bangsa. Ketua Komisi X DPR RI Teuku Riefky Harsya meminta agar kisruh sepak bola jangan sampai mengganggu stabilitas nasional.
"Saya khawatir ini mengganggu, demonstrasi bisa merembet ke mana-mana," tutur Teuku Riefky.
Presiden Joko Widodo pun turun tangan dan menyatakan mendukung tim transisi sepak bola nasional yang dibentuk Kemenpora di bawah komando Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi.
Akhirnya, setelah adanya keputusan Mahkamah Agung (MA) yang memerintahkan Kemenpora mencabut sanksi pembekuan PSSI dan komitmen FIFA untuk membantu pembenahan PSSI, Selasa 10 Mei 2016, Imam Nahrawi membebaskan PSSI dari segala hukuman.
Keputusan Menpora membuat FIFA mencabut sanksi untuk Indonesia sekaligus meruntuhkan tembok pemisah antara pemerintah dan PSSI.
Pemerintah kembali berbaur dengan PSSI. Untuk pertama kalinya Menpora Imam Nahrawi hadir di Kongres PSSI sekaligus membuka kegiatan yang dilaksanakan di Bandung, Januari 2017 tersebut.
"Bersejarah bagi saya karena pertama kali bisa datang langsung," ujar Imam.
Piala Presiden 2017
PSSI di era baru, di bawah kepemimpinan Ketua Umum Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi di masa 2016-2020, menegaskan ingin berjalan bersama dengan pemerintah.
Kebijakan ini diambil tidak lain untuk membawa sepak bola Indonesia menuju prestasi tertinggi. Presiden Joko Widodo juga sudah mengadakan rapat terbatas tentang sepak bola nasional di Istana Kepresidenan di akhir Januari 2017 dengan mengundang beberapa menteri.
Hubungan pemerintah dan PSSI yang kembali terjalin baik kemudian terwujud dalam gelaran Piala Presiden 2017. Kompetisi ini langsung dibuka oleh Presiden Joko Widodo pada 4 Februari 2017 dan diikuti oleh 20 klub.
Lagi-lagi ini bisa dicatatkan dalam buku sejarah karena Piala Presiden merupakan kompetisi resmi pertama PSSI pasca-sanksi FIFA.
Seperti Jerman Barat dan Timur yang langsung menandatangani pakta persatuan ekonomi, moneter begitu Tembok Berlin runtuh, Piala Presiden juga tidak ubahnya semacam kesepakatan bersama antara pemerintah dan PSSI bahwa keduanya siap membawa persepakbolaan Indonesia ke arah yang lebih baik.
Piala Presiden 2017 disepakati menjadi sarana pemantauan para pemain berbakat calon penghuni tim nasional, yang kini dilatih pria Spanyol Luis Milla, untuk SEA Games 2017 di Malaysia.
Kemudian, kompetisi yang akan berakhir di Stadion Pakansari, Cibinong, Kabupaten Bogor, Minggu (12/3) ini, juga dimanfaatkan untuk menguji coba regulasi yang akan digunakan dalam pelaksanaan Liga I, liga tertinggi di Indonesia.
Belum selesai sampai di situ, Piala Presiden pun digunakan untuk memantau kinerja wasit dan asisten wasit yang nantinya digunakan jasanya di seluruh kompetisi sepak bola nasional.
"Mereka yang lakukan kesalahan berat tidak akan pernah menjadi wasit lagi," ujar Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi.
Memang, tidak ada yang bisa menjamin sepak bola Indonesia akan semakin maju selepas sanksi FIFA dan pelaksanaan Piala Presiden.
Tidak ada pula yang bisa memastikan Indonesia akan melalui kebangkitan persepakbolaannya dengan jalan mulus dan tanpa hambatan.
Satu hal yang pasti adalah semuanya harus bekerja keras bagaimanapun keadaannya. Jika punya keinginan untuk menerbangkan Sang Garuda ke langit tertinggi, maka semua pihak harus siap dengan segala konsekuensi.
Seperti pernah dikatakan Bung Karno dalam satu kesempatan, "Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Kita adalah bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita."
Semoga kebaikan menyertai sepak bola nasional kita.
(M054/T004)
Oleh Michael Teguh Adiputra Siahaan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017