Direktur Dexa Laboratories Bimolecular Sciences PT Dexa Medica Raymond Tjandrawinata di Jakarta, Rabu mengatakan pemanfaatan 13 ribu tanaman herbal tersebut masih untuk jamu yang sifatnya hanya preventif dan promotif.
"Dari 30 ribu bahan baku herbal itu sudah digunakan. Tapi digunakannya lebih ke arah jamu. Sekarang hampir 13 ribu sudah digunakan, tapi belum menjadi obat herbal, masih jamu," kata dia.
Sementara penggunaan untuk produksi obat herbal terstandar (OHT) dan fitofarmaka atau OHT yang sudah diuji klinis pada manusia baru sekira 500 tanaman herbal yang dimanfaatkan.
Kategori obat herbal terstandar dan fitofarmaka tersebut merupakan obat yang levelnya kuratif atau bisa menyembuhkan.
Sampai saat ini di Indonesia baru memiliki delapan obat fitofarmaka yang sudah memiliki izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), empat di antaranya dari PT Dexa Medica.
Raymond menjelaskan baru sedikitnya pemanfaatan tanaman herbal untuk OHT atau fitofarmaka dikarenkan investasi riset yang cukup besar dalam biaya dan memakan waktu yang lama.
"Penelitian selama delapan tahun itu baru bisa dapat satu fitofarmaka," ujar Raymond.
Selain itu dia juga mengungkapkan pihak industri belum banyak yang tertarik mengembangkan obat fitofarmaka karena belum masuk dalam Formularium Nasional (Fornas) sebagai syarat obat bisa digunakan pada pengobatan di Jaminan Kesehatan Nasional.
"Kalau seandainya Kementerian Kesehatan bilang supaya industri banyak lakukan penelitian OHT dan fitofarmaka dan dipakai dalam Fornas, saya yakin yang delapan fitofarmaka ini bisa menjadi 80 bisa jadi 100," kata dia.
Dia menjelaskan dengan mengembangkan obat herbal dalam penggunaannya di bidang kesehatan bisa mengurangi impor bahan baku obat yang saat ini jumlahnya masih sebesar 90 persen.
Dengan memproduksi obat herbal, katanya, industri di Indonesia tidak perlu mengimpor bahan baku melainkan memanfaatkan tanaman herbal yang tumbuh sangat banyak di Indonesia.
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017