Khusus bagi turis Muslim, tentu ketersediaan makanan halal juga menjadi kebutuhan yang tidak terhindarkan kala berkunjung ke Bali.
Banyaknya rumah makan yang menyediakan menu hidangan "terlarang" bagi kaum Muslim tidak menjadi hambatan karena sekarang telah banyak rumah makan yang menawarkan menu halal.
Bahkan warung makan yang berlabel "Muslim" pun telah mudah ditemukan hampir di seluruh wilayah Bali.
Akan tetapi, kebutuhan tersebut ternyata tidak hanya menjadi tuntutan turis Muslim, namun juga menjadi kebutuhan bagi para pelaku usaha di bidang makanan yang menjalankan bisnisnya di Pulau Dewata.
Bagi Ziad Mzannar, seorang chief executive di sebuah rumah makan khas Lebanon, Layali, di Jalan Legian, penggunaan daging atau produk halal bukan hal yang bisa dikompromi.
Ia menuturkan bahwa untuk mencari bahan makanan yang sesuai standar restorannya di Bali membutuhkan ketelatenan, khususnya memastikan kehalalan daging yang akan digunakan dalam setiap hidangan di rumah makan Lebanon yang telah beroperasi selama tujuh tahun itu.
Ziad menjelaskan, sebagai seorang yang bertanggung jawab menyediakan makanan halal di restoran tersebut, ia harus memeriksa setiap bahan makanan sebelum diolah di dapurnya.
"Baik ayam dan daging setiap hari harus segar, dan yang memotong harus punya sertifikat halal. Kalau dia tidak punya sertifikatnya, saya tidak mau beli," tutur Ziad menegaskan syarat mutlaknya tersebut.
Selain sertifikat, ia juga harus memastikan bahwa cara pemotongan hewan dilakukan sesuai syariat Islam oleh tukang jagal Muslim.
Mengingat pentingnya nilai halal bagi turis mau pun pelaku bisnis di Bali, maka wajar jika pengadaan dan penanganan makanan halal menjadi sebuah kewajiban dalam rangka memuaskan kebutuhan konsumen di bidang pariwisata.
Kesiapan RPH
Berdasarkan data dari pemerintah, Bali didominasi pemeluk agama Hindu, sementara penduduk Muslim-nya tergolong sedikit.
Kondisi yang kerap terjadi ialah banyak turis dari luar Bali atau turis Muslim asing meragukan kehalalan daging yang dikonsumsi.
Dalam kenyataannya, meskipun Bali tidak masuk ke dalam program pengembangan 10 destinasi pariwisata halal yang digagas Kementerian Pariwisata, namun ketersediaan daging halal tetap diperhatikan secara serius oleh pemerintah daerah.
Jika menilik pada salah satu dari delapan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di Bali, RPH Kota Denpasar menjadi yang terbesar dengan kapasitas pemotongan mencapai 27 ekor sapi dan 120 ekor babi per hari, jauh di atas RPH lain yang berkisar pada angka 50-an ekor per hari.
Kepala UPT RPH Kota Denpasar Gede Nyoman Wiratanaya menjelaskan, meskipun RPH yang ia pimpin menangani dua jenis hewan ternak yang saling "bersinggungan", namun ia memastikan bahwa proses pengolahannya dilakukan sesuai syariat Islam.
Di RPH tersebut, Lokasi penyembelihan dan pemotongan sapi dan babi dilakukan di dua lokasi yang dipisahkan oleh tembok setinggi kurang lebih tiga meter.
"Manajemen dan tenaga pemotongan-pengolahan pun berbeda. Pekerja di wilayah sapi tidak boleh ke area pemotongan babi, begitu juga sebaliknya supaya halalnya tetap terjaga," tutur pria yang kerap disapa Yaya itu.
Tenaga jagal yang menangani pemotongan sapi di RPH Kota Denpasar mencapai 13 orang, termasuk satu juru sembelih yang merupakan satu-satunya pekerja beragama Islam.
"Dia yang mendoakan dan menyembelih, penugasan dia juga di bawah pengawasan LPPOM Majelis Ulama Indonesia," ucap Yaya menambahkan.
Dengan biaya retribusi hanya Rp12 ribu per ekor sapi, Yaya berani menjamin bahwa daging-daging sapi yang beredar di pasar-pasar kawasan Denpasar dan sekitarnya ialah produk halal.
Si Juleha
Sebelum disembelih, sapi-sapi harus diperiksa dan dipastikan sehat oleh dokter hewan yang bertugas di RPH Denpasar yakni Wayan Budhista.
Wayan menuturkan bahwa dalam syarat halal juga harus dipastikan bahwa hewan yang akan dipotong dalam kondisi sehat dan tidak mengalami tindakan-tindakan penyiksaan.
Jika semua hal telah memenuhi kriteria, maka urusan selanjutnya berada di tangan "juleha" alias Juru Sembelih Halal, tutur Wayan melanjutkan.
"Sebelum ditugaskan di sini (RPH) mereka harus mendapat pelatihan dan juga sertifikat. Pelatihannya yang mengadakan Kementerian Pertanian, termasuk instrukturnya dari sana," katanya.
Untuk RPH Kota Denpasar, sapaan juleha disematkan pada Hikmanudin, pria yang telah menjadi jagal sapi sejak tahun 1989.
Tidak lah sulit untuk mengenali Hikmanudin di antara 13 petugas pemotongan sapi di RPH tersebut.
Kumis tebal di wajah serta peci hitam yang selalu ia kenakan pada setiap malam "pembantaian" membuatnya paling mudah dikenali di antara rekan seprofesinya.
Hikmanudin menuturkan, sebelum menjadi juleha di RPH Kota Denpasar menggantikan posisi kakaknya yang sedang sakit, ia menjalani profesi serupa di daerah Mambal, Kabupaten Badung.
Meskipun baru satu bulan menjadi juleha di RPH Denpasar, ia mengaku telah memiliki sertifikat sebagai penyembelih halal sejak 2015.
"Waktu itu pelatihan untuk Juru Sembelih Halal di Malang tiga minggu, tahun 2015. Yang menguji dari MUI, dokter hewan, juga pihak Kementerian Agama," tutur Hikmanudin menceritakan.
Dalam pelatihan itu, katanya melanjutkan, para penguji menanyakan berbagai macam hal kepada para calon juleha.
Pertanyaan yang diajukan pun beragam mulai dari soal pengertian kehalalan daging, syarat penyembelihan hewan, penanganan hewan, hingga teknik pemotongan.
Penanganan proses penyembelihan sapi yang telah berjalan secara sistematis dan sesuai syariat Islam tentu menjadi kabar positif untuk menjawab keraguan sejumlah pihak yang tengah menghabiskan waktu di Pulau Dewata.
Berkat pemahaman pemda setempat dan kepiawaian para juleha dalam menyediakan produk halal di Bali, maka akan "haram" sifatnya jika konsumen masih meragukan kehalalan makanan dari olahan daging sapi yang dikonsumsi.
(Baca juga: PHRI Bali harapkan Arab Saudi investasi infrastruktur )
Oleh Roy Rosa dan Yashinta Difa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2017