• Beranda
  • Berita
  • Hutan Desa jadi harapan baru warga Manggroholo-Sira

Hutan Desa jadi harapan baru warga Manggroholo-Sira

13 Maret 2017 16:22 WIB
Hutan Desa jadi harapan baru warga Manggroholo-Sira
Warga Kampung Sira, Distrik Saifi, Sorong Selatan, Papua Barat. (ANTARA News/Monalisa)
Di sana pulauku
Yang kupuja s’lalu
Tanah Papua pulau indah
Hutan dan lautmu
Yang membisu s’lalu
Cendrawasih burung emas

Lantunan lagu Tanah Papua itu menggema di Gedung Putih Kota Teminabuan, Sorong Selatan, Kamis (9/3) siang, saat Kampung Manggroholo dan Sira resmi menerima Surat Keputusan mengenai Hutan Desa.

Pada hari yang menandai adanya Hutan Desa pertama di Tanah Papua itu, puluhan warga Manggroholo dan Sira berbondong-bondong datang dari kampung mereka ke Teminabuan.

Jarak dari kedua dusun dengan Teminabuan sekitar 11 kilometer, dan mereka harus melalui delapan kilometer jalan rusak yang kondisinya semakin parah saat hujan turun.

Namun itu tak sebanding dengan yang mereka dapat, "kemerdekaan" mengelola hutan secara mandiri, dan harapan baru akan kehidupan yang lebih baik.

Lagu Tanah Papua pun terasa lebih syahdu. Mengingatkan semua yang ada di Gedung Putih bahwa Papua merupakan "surga kecil" dengan hutan berlimpah yang harus terus dijaga.



ANTARA News/Monalisa


Di Knasaimos

Kampung Manggroholo dan Sira berada dalam hutan alam di lansekap Knasaimos.

Knasaimos adalah wilayah dengan status hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) di wilayah administrasi Distrik Seremuk dan Saifi, Kabupaten Sorong Selatan.

Hutan-hutan di Knasaimos yang merupakan tempat hidup pohon-pohon seperti Merbau, Matoa, dan Lingua, yang menjadi incaran perusahaan-perusahaan kayu.

Tahun 2002-2005, wilayah penebangan pohon ilegal dan pencurian kayu marak di wilayah Knasaimos, yang meliputi Kampung Mlaswat dan Manggroholo, yang kini dimekarkan menjadi kampung Manggroholo dan Sira.

Mantan Kepala Kampung Sira Yoel Semere mengungkapkan bahwa sebelum tahun-tahun tersebut, sekitar tahun 1980-an, pemerintah hendak menjadikan hutan di sana sebagai wilayah transmigrasi, namun mereka menolak.

ANTARA News/Monalisa


"Perusahaan masuk ke sini mau ambil hutannya untuk kayu. Dari warga awalnya menerima, tetapi kami melihat perusahaan itu perjalanannya memang akan merusak. Pohon-pohon dirusak. Maka dalam proses itu, kami hentikan perusahaannya karena kami masyarakat sangat rugi," kata Yoel. 

"Berikutnya itu transmigrasi, kami tidak menerima juga. Kami hentikan, tidak bisa masuk di wilayah ini. Berikutnya lagi perusahaan kelapa sawit. Wilayah hutan kami tidak luas, kalau kami kasih masuk perusahaan, lalu masyarakat ini kami taruh dimana?" ujarnya.

Data Greenpeace menunjukkan, laju deforestasi di Papua mencapai 22.300 hektare per tahun selama kurun 2013 sampai 2014.

Laju deforestasi di wilayah Papua seperti kawasan Knasaimos semakin meningkat setelah perluasan lahan perkebunan kelapa sawit. Luas kebun kelapa sawit tahun 2015 di Papua Barat tercatat 52.400 hektare.


Melawan rayuan

Pohon Merbau atau kayu besi yang nilai ekonomisnya tinggi melimpah di Hutan Manggroholo dan Sira. (ANTARA News/Monalisa)


Masyarakat Manggroholo dan Sira, yang meliputi dua marga besar, Sremere dan Kladit, adalah masyarakat adat yang kehidupannya sangat bergantung pada hutan.

"Dari dulu hutannya sudah dimanfaatkan, tetapi tetap dijaga. Dia punya lahan, kalau tebang untuk membuat kebun, kalau bukan (untuk kebun) ya tidak bisa tebang. Tetapi setelah ada program untuk Hutan Desa, kami sudah bagi-bagi ini kawasan untuk tani, ini untuk lindung," jelas Yoel.

Kemudian pengusaha-pengusaha kayu dan sawit mulai datang mengusik. Dengan berbagai macam iming-iming, mereka berusaha merebut hati warga agar membiarkan mereka membuka areal hutan. Mereka menjanjikan uang, bantuan semen, dan pekerjaan kepada warga.

"Di kampung lain janji-janji itu tidak pernah terjadi. Dan kami melihat kayu mereka sudah habis. Maka kami belajar dari situ. Kalau kayu sudah habis, generasi nanti mau buat apa?" kata Kepala Lembaga Pengelolaan Hutan Desa Manggroholo Markus Kladit.

Memantapkan penolakan mereka, pada 2008 warga kampung mendeklarasikan untuk tidak menerima perusahaan dalam wilayah adat mereka.

"Kami melihat masyarakat Moi di Kota Sorong sudah tersisih sekali, mereka hampir tidak napas, mereka mau tinggal dimana? Padahal mereka punya hutan luas, sedangkan hutan kami lebih sempit," katanya.

"Maka kami tidak mengizinkan perusahaan-perusahaan masuk wilayah ini. Masyarakat nanti hidup dimana? Mau bikin rumah di mana? Nanti anak cucu tinggal di mana?" tambah Yoel. 


Harapan baru

Kampung Sira, Distrik Saifi, Sorong Selatan. (ANTARA News/Monalisa)


Warga kampung menyadari, dengan status hutan mereka sebagai Hutan Produksi, hidup mereka belum bisa tenang.

Selain berjuang menangkal gangguan yang mengusik hutan mereka, warga kedua kampung mempersiapkan diri untuk berjuang mendapatkan status hutan desa.

"Anak-anak muda di sini berpikir harus menjaga hutan ini," kata Yoel.

Mendapatkan status Hutan Desa bukan hal mudah. Prosesnya panjang. Apalagi di Tanah Papua belum ada satu pun hutan yang berstatus Hutan Desa.

Didampingi Dewan Adat bersama Greenpeace dan Yayasan Bentara Papua, sejak tahun 2007 warga kedua kampung itu berusaha mendapatkan status itu untuk hutan mereka. 

Pemetaan lansekap Knasaimos/Greenpeace Indonesia


Beberapa warga sempat diajak studi banding ke Papua Nugini. Mereka kemudian melakukan pemetaan partisipatif, penguatan kelembagaan desa, penyusunan koperasi, survei potensi hutan, pembuatan rencana hutan desa hingga berbagai pelatihan seperti manajeman koperasi, serta pembuatan anyaman, dan pemanfaatan damar dan gaharu.

"Sebelumnya, masyarakat masih mengelola hutan secara tradisional. Masyarakat bikin bersih lalu tanam saja seperti itu," jelas Yoel.

Jalan menuju Kampung Sira. ANTARA News/Monalisa


Proses berlanjut dengan pengusulan areal kerja hutan desa ke Bupati Sorong Selatan pada 2013.

Perjuangan mereka berbuah setelah terbit Surat Keputusan Penetapan Areal Kerja Hutan Desa Manggroholo dan Sira dari Menteri Kehutanan pada 18 September 2014, yang diserahkan pada 9 Maret 2017.

Warga Kampung Sira, yang dihuni 186 orang (37 keluarga), berhak atas 1.850 hektare dari total 2.000 hektare luas keseluruhan hutan.

Sedangkan 229 warga (49 keluarga) Manggroholo berhak mengelola 1.695 hektare dari total 2.964 hektare hutan di wilayah mereka.

Dengan demikian, mereka bisa mengoptimalkan potensi hutan mereka tidak hanya untuk kebutuhan sehari-hari tetapi juga menambah penghasilan warga yang rata-rata masih Rp500ribu sampai Rp1 juta per bulan.

Rotan di hutan Kampung Sira. ANTARA News/Monalisa


Kedua kampung tersebut memiliki potensi sagu yang melimpah (sekitar 50 persen lahan terdiri dari tanaman sagu).

"Masyarakat kalau mau cari hidup, pasti ambil sagunya. Sagu itu salah satu potensi masyarakat di sini yang dipasarkan, dijual ke Kota Teminabuan. Sekarang kalau jual pakai karung dihargai Rp200 ribu untuk berat 20 kg," kata Markus.

Selain itu mereka punya damar, rotan, gaharu, sayur, dan buah-buahan. Setelah ada koperasi, warga bisa langsung menjual hasil panen ke koperasi sebagai penampung sementara.

Sementara pemanfaatan potensi produk kerajinan masih diupayakan. Perempuan di sana biasa menganyam sewaktu senggang. Mereka biasanya membuat piring dari dahan pohon kelapa, atau tas yang disebut noken dari kulit kayu.

Warga menganyam tas noken dari kulit pohon. ANTARA News/Monalisa


Dorsila Kladit, misalnya, yang sudah biasa membuat tas dari kulit pohon.

"Butuh satu minggu untuk buat satu tas, pernah dijual kalau ada yang beli langsung saja," kata Dorsila.

Sedangkan piring dari dahan pohon kelapa baru dikerjakan warga sejak akhir tahun 2016, setelah mereka mendapatkan pelatihan dari PKK Jayapura.

"Sekarang sudah terbiasa setelah satu bulan belajar, tetapi belum pernah dijual, masih ditampung dulu piring-piringnya. Memang butuh kesabaran untuk membuat ini," kata Anita Kladit, yang baru belajar membuat piring dahan kelapa sejak November 2016.

Di samping berkebun dan mengolah sagu, Anita berharap bisa mendapatkan uang tambahan dari hasil karyanya.

ANTARA News/Monalisa


Ketua Dewan Persekutuan Masyarakat Adat Knasaimos Fredrik Sagisolo mengatakan status Hutan Desa juga menghindarkan masyarakat dari konflik internal.

"Sangat susah kami di sini, beda dengan kalau di Jawa. Kalau tanah ini punya Budi ya Budi yang punya, dia akan wariskan ke anaknya. Kalau di sini disebut sebagai hak bersama, karena satu marga, di dalamnya ada beberapa keluarga. Kalau ada hasutan yang mengakibatkan ada anggota keluarga yang harusnya tidak kompromi, menimbulkan konflik," jelas Fredrik.

Dari 81.446 hektare wilayah adat Knasaimos, baru 3.500 yang diakui menjadi Hutan Desa.

Kepala Global Kampanye hutan Greenpeace Indonesia Kiki Taufik mengatakan kampung Manggroholo dan Sira bisa menjadi inspirasi bagi desa-desa lain untuk melakukan hal yang sama.

Sebab, katanya, saat ini wilayah Knasaimos sudah dikelilingi empat perusahaan sawit. 

"Dengan adanya Hutan Desa ini mereka punya kedaulatan untuk mengelola. Tetapi memang harus dijaga, karena kalau kelolanya tidak benar dan tidak ada dampak baik dari Hutan Desa, maka itu akan menjadi preseden buruk. Potensi Hutan Desa ini harus dikembangkan, bagaimana masyarakat dapat manfaat maksimal dari potensi hutan desa itu dan berkelanjutan," kata Kiki.

Koordinator Kampanye Greenpeace Papua Charles Tawaru mengungkapkan bahwa ada 48 perkebunan kelapa sawit yang sudah mengantongi izin di Papua dan Papua Barat, dengan kisaran luas 25.000 hingga 45.000 hektare per perusahaan.

Ia berharap hutan-hutan Papua lainnya bisa segera diselamatkan dengan program Perhutanan Sosial dari Presiden Joko widodo untuk memberikan 12.7 hektare hutan di Indonesia kepada masyarakat di sekitar kawasan hutan.

"Kami sedang mempercepat pemetaan partisipatif untuk mendorong perhutanan sosial. Kami rencana ekspansi ke wilayah Merauke, Bovendigul, Nabire, dan Jayapura," ungkapnya.

VIDEO:

               

Oleh Monalisa
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017