Turki tidak tunda kepakatan pengungsi dengan UE

18 Maret 2017 04:48 WIB
Turki tidak tunda kepakatan pengungsi dengan UE
Dokumen foto pendukung Presiden Tayyip Erdogan di Metz, Prancis, mengibarkan bendera Turki menjelang dimulainya reli politik Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu, Minggu (12/3/2017). (REUTERS/Vincent Kessler)

Prancis juga menyeru pejabat Turki menghindari dampak dan provokasi."

Berlin (ANTARA News) - Juru Bicara Pemerintah Jerman mengemukakan bahwa sejauh ini tidak ada tanda-tanda Turki menunda kesepakatan pengungsi dengan Uni Eropa (UE), yang dicapai pada tahun lalu untuk membendung arus pendatang ilegal.

Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu pada Rabu (15/3) dalam satu wawancara di radio sempat menyatakan bahwa Turki dapat membatalkan perjanjian penerimaan pendatang dengan UE sekaligus mengaji ulang kesepakatan pengungsi senilai 6 miliar dolar Amerika Serikat (AS) itu.

Namun, pihak Jerman menilai bahwa jumlah pendatang tiba di Yunani terus menurun dalam beberapa hari belakangan ini.

Sebelumnya, Prancis mendesak Turki dan beberapa negara anggota Uni Eropa meredakan ketegangan dan mengatakan tidak ada alasan melarang pertemuan di wilayahnya antara Menteri Luar Negeri Ankara dan perhimpunan Turki di negara itu.

Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu berbicara dalam pertemuan publik di Prancis timur, sehari setelah Belanda melarang pesawatnya mendarat akibat perseteruan terkait kampanye politik Ankara di antara imigran Turki.

"Prancis juga menyeru pejabat Turki menghindari dampak dan provokasi," demikian pernyataan Kementerian Luar Neger Prancis, terkait ketegangan Turki dengan Eropa.

Ketegangan bermula ketika Belanda melarang menteri luar negeri Turki mendarat di Rotterdam, di tengah perselisihan menyangkut kampanye politik Ankara di antara perantau Turki.

Larangan Belanda membuat Presiden Turki Tayyip Erdogan menyebut negara sesama anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) itu sebagai "sisa Nazi".

Kejadian luar biasa muncul beberapa jam setelah Menlu Mevlut Cavusoglu mengatakan akan terbang ke Rotterdam, kendati dilarang dan muncul dalam unjuk rasa di kota itu guna menggalang dukungan untuk menyapu kekuasaan baru yang diinginkan Erdogan.

Eropa, disebutnya, tidak boleh "berlaku seperti atasan".

Cavusoglu juga dilarang menghadiri kegiatan serupa di Hamburg, Jerman, pekan lalu, sehingga dirinya hanya berbicara di konsulat Turki.

Ia menuding Belanda memperlakukan banyak warga Turki di negara itu layaknya "sandera", menjauhkan mereka dari Ankara.

Oleh karena itu, Cavusoglu mengancam akan mengeluarkan sanksi politik dan ekonomi berat jika Belanda menolak kedatangannya. Ancaman itu membuat pemerintahan Belanda tak ragu mengeluarkan keputusan.

Dengan alasan ketertiban umum serta masalah keamanan, Belanda tidak mengeluarkan izin bagi pendaratan penerbangan Cavusoglu.

Pihak berwenang Turki juga dilaporkan telah menyegel kedutaan dan konsulat Belanda di Ankara, kata sejumlah sumber pada kementerian luar negeri Turki.

Hal itu menjadi isu hangat, di tengah meningkatnya perselisihan antara kedua negara menyangkut kampanye Turki di Eropa.

Turki juga menutup kediaman Duta Besar, Kuasa Usaha dan Konsul Jenderal Belanda.

Sebelumnya, Menteri Urusan Keluarga Turki Fatma Betul Sayan Kaya dihadang oleh kepolisian Belanda untuk masuk ke konsulat Turki di Rotterdam, demikian laporan NOS News.

Kementerian Luar Negeri Turki juga mengatakan tidak menginginkan duta besar Belanda "untuk sementara ini" kembali ke Turki di tengah perselisihan kedua negara.


Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2017