Pria yang sering mengenakan banyak cincin batu akik itu menuturkan bagaimana ketidakmampuannya mengatasi masalah pekerjaan tanpa keluarga di sisinya membuat dia lari ke narkoba.
"Waktu saya makai itu memang tidak ada yang mengawasi, karena saya hidup sendiri. Keluarga di Surabaya. Saya sendirian di Jakarta. Saya benar-benar drop dengan kerjaan," katanya kepada ANTARA News di kawasan Petamburan, Jakarta, Senin (27/3).
"Yang jelas saya dicekal oleh salah satu instansi. Tidak boleh tampil di televisi. Padahal empat stasiun televisi membutuhkan saya. Selama empat tahun lah saya tidak menerima pekerjaan," sambung Tessy.
Keluarga Tessy sama sekali tidak mengetahui kebiasaan barunya menggunakan narkoba. Mereka baru tahu ketika polisi menangkap Tessy pada Oktober 2014.
Tessy tak bisa menggambarkan perasaannya waktu itu. Yang jelas, pikiran pintas kembali hadir dalam benaknya, bunuh diri.
"Keluarga baru tahu saya makai dari berita di media. Keluarga saya tahu diamankan polisi, waktu itu mereka kaget. Perasaan saya yang tahu waktu itu hanya saya dan Allah. Setelah diamankan polisi saya masih berusaha bunuh diri, minum cairan pembersih lantai," kata dia.
"Lewat lima menit (terlambat ditangani dokter) saya sudah lewat. Tetapi ternyata Allah berkata lain," tutur Tessy.
Pengedar di mana-mana
Tessy mengatakan bahwa ketika itu dia tidak merasa kesulitan mendapat shabu-shabu karena pengedar ada di mana-mana.
"Pengedar masih di mana-mana. Dulu, saya ditawarin, mencoba-coba. Yang menawarkan, saya tahu lewat teman-teman, dari omongan satu ke yang lainnya," katanya.
"Saya hanya coba shabu dan ekstasi. Pada akhirnya shabu saja. Waktu itu kondisi drop, saat makai ramai-ramai kayaknya enjoy banget," kata dia.
Dulu Tessy mengaku bisa menghabiskan satu gram shabu-shabu seharga Rp 1,5 juta dalam sehari.
"Kadang-kadang beli sampai tiga gram, untuk stok," tutur dia.
Tapi kebiasaan mahal itu kemudian membuat Tessy harus membayar jauh lebih mahal lagi. Kebiasaan itu membuat dia sulit tidur dan nafsu makannya menurun, kesehatannya pun lalu memburuk.
"Saya merasakan memang, makan enggak enak, tidur sulit, dua hari dua malam enggak tidur. Setelah drop, tidur pulas. Dua sampai tiga hari, tidur enggak bangun-bangun," kata dia.
Setelah polisi menangkapnya, dia mendapat kesempatan menjalani rehabilitasi. Di sana lah dia mendapatkan kepercayaan dirinya kembali.
"Pas rehab, mengembalikan kepercayaan diri kita. Diajak olahraga, lari-lari, tukar pikiran satu sama lain, mengobrol. Kalau pengguna masih penjara kasihan banget, dia enggak akan insaf, justru makin merajalela," katanya.
Pengalaman itu lalu membuat dia punya patokan baru soal narkoba. "Saya enggak mau pakai lagi. Sengsara!" katanya.
Oleh Lia Wanadriani Santosa
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017