Kendaraanya bermerk Media Sosial alias medsos.
Medsos mewabah dan merasuk orang per orang, di sekolah, di tempat kerja, di transportasi umum, dan di tempat paling pribadi sekalipun.
Kata kunci medsos yakni aku terhubung maka aku ada. Untuk itu, isilah dan sesakilah gawai dengan memberi sebanyak mungkin "komen" dengan menggunakan perangkat gawai.
Di dalam ruang transportasi umum, tidak sedikit orang yang menundukkan kepala, mengarahkan pandangan ke layar gawai, kemudian memainkan jari untuk memberi respons baik berupa tulisan, gambar, dan suara.
Silakan melihat sepintas reaksi mereka yang bersibuk diri bermedsos ria. Ada yang mengernyitkan kening, menyunggingkan senyum, atau menjentikkan ibu jari seraya berucap tegas, "Yes!"
Baca juga: (Orang-orang yang raup keuntungan tak terduga dari medsos)
Perilaku bermedsos dilakukan sejak bangun dari tidur pagi sampai berangkat ke peraduan malam. Tiada hari tanpa bermedsos, karena dia sohib setiaku, tanpa dia aku benar-benar merasa hidup tanpa arti lagi.
Wow...romantisme mengintip manakala medsos mewabah, dengan mengandalkan aplikasi daring (online), dari Facebook, Instagram, Twitter, Path, Line, sampai WhatsApp. salam mesra teranyar dan terpopuler era Milenial, yakni "like, komentar, share". Tiga kata inilah seakan sejajar dengan kata ampuh dunia persulapan "abrakadabra".
Medsos merangsek lini pertahanan diri pribadi, utamanya mereka yang yang lahir kurun 1990-an sampai 2000-an.
Dengan menunggang dan membonceng sihir viral yang secepat kilat mewabah, maka pembaca Milenial seakan digiring dalam narasi besar bernama dunia maya (virtual world).
Kini, dunia maya bertajuk medsos justru melahirkan autisme. Kata autisme berasal dari kata Yunani "autos" yang berarti diri sendiri, oleh diri sendiri.
Autisme merupakan sikap diri atau sikap hidup dari seseorang yang terserap oleh gagasan, pendirian, kehendak dan gaya hidupnya sendiri, dengan tidak mempertimbangkan sesama dan melihat dengan kritis situas sekitarnya.
Baca juga: (Hal-hal "gila" ini terekam di medsos)
Autisme memiliki tiga kata kunci. Pertama, cari dan temukanlah segala hal yang enak dirasa dan nikmat direguk.
Kedua, sedapat mungkin jangan hiraukan dunia sekitar, dengan meminjam kata populer "cuek", atau ujaran-ujaran lugas khas Jakarta, "elu mau apa, kalau gua begini", "emang masalah buat elu".
Di balik kehebohan momen populer di jagat medsos - yang dilabel sebagai viral - mengintip virus perilaku mudah ikut-ikutan. Alih-alih memberi argumentasi, sikap kritis lambat laun menjadi tumpul lantaran penilaian "like", "dislike", atau pemberian "comment" lebih banyak didorong motivasi keinginan terhubung dengan hal-hal yang sedang populer.
Selama Maret 2017. tiga momen viral mendominasi jagat medsos. Pertama, tayangan video bunuh diri di akun Facebook dari seorang pria berinisial PI (35) yang sempat tayang selama beberapa jam di sejumlah medsos kemudian ditonton oleh netizen.
Lantaran menayangkan adegan mengerikan yang menistakan nilai kemanusiaan, maka video itu dihapus atas permintaan Kementrian Komunikasi dan Informatika, meski tayangan video berdurasi 1 jam 45 menit sudah demikian mewabah dan menyebar ke berbagai medsos dan layanan pesan singkat WhatsApp. (Kompas.com, 18/3/2017).
Momen kedua, BBC Trending mendapati sosok kartun ratusan video serupa sosok kartun anak-anak dengan tema yang tidak elok. Selain Peppa Pig, ada video serupa yang menampilkan karakter film-film Disney Frozen, waralaba Minion, Doc Mcstuffins, Thomas the Tank Engine. Beberapa video merupakan parodi yang berisi konten khusus bagi permirsa dewasa.
Baca juga: (Berita bohong banyak tersebar di medsos)
Judul video-video di saluran itu memuat dan menyajikan secara gamblang konten tak ramah anak, seperti: 'Frozen Elsa huge snot,' (Ingus raksasa Frozen Elsa), 'Naked Hulk loses his pants' (Hulk bugil kehilangan celana'), "Bloody Elsa: Frozen Elsa's Arm is Broken by Spiderman" (Elsa berlumur darah: Lengan Frozen Elsa dipatahkan oleh Spiderman). Video-video itu dipenuhi dengan tayangan kekerasan dan humor porno (Kompas.com, 29/3/2017).
Momen ketiga, kelucuan dari dua balita yang menyela siaran langsung wawancara Profesor Robert Kelly melalui sambungan video call. Topiknya, Presiden Korea Selatan, Park Geun-hye, yang dimakzulkan lantaran skandal gratifikasi.
Aksi nyelonong dua balita itu di tengah wawancara memantik gelak tawa pemirsa bersama netizen. Di akun laman Facebook Newsbeat, video tersebut telah dibagikan ulang sebanyak 247.000 kali dan mendapatkan 40.000 komentar.
Sebanyak 167.000 netizen merespons dengan memberi bermacam reaksi. Jumlah itu demikian membludak dengan akun-akun Facebook lain, baik media maupun perseorangan, yang mengunggah video itu. (Kompas.com, 12/3/2017).
Ketiga momen yang viral di medsos itu terbingkai dalam dunia maya. Momen pertama dan momen kedua menabrak ambang batas susila. Momen ketiga lebih mengedepankan drama kelucuan.
Ketiga momen itu sama-sama memuat ketubuhan, atau hal yang menyangkut dan mengaitkan aspek tubuh, yang dimuat dan direspons dalam dunia maya (virtual world).
Baca juga: (Aplikasi medsos yang pertama dibuka generasi milenial)
Momen pertama dan kedua, menistakan tubuh; momen ketiga, memberi dan menyajikan vitamin bagi tubuh dengan tayangan humor yang mengajak netizen tertawa.
Kredo dari momen pertama dan kedua, "aku melanggar pakem susila, maka aku ada". Sementara, kredo dari momen ketiga, "aku tertawa, maka aku ada".
Ketiga momen itu mendompleng kepada asal usul kata virtual (maya), yang berakar dari kata bahasa Latin "virtus", yang berarti keunggulan, keberhasilan, dan kedewasaan.
Berangkat dari asal usul kata virtual itulah, tercetus tiga sesat pikir medsos.
Pertama, gegap gempita dunia medsos didominasi oleh asa untuk menenggelamkan tubuh, karena orang "seakan-akan dilibatkan" dalam alam kenyataan, meski tidak ada interaksi dengan orang lain. Lahirlah, sosok-sosok autis, jauh dari kenyataan dan kontak pengalaman sehari-hari.
Sesat pikir kedua, tidak ada sentuhan dan tatapan langsung yang konkret dalam interaksi sosial, karena semuanya difasilitasi dalam kenyataan virtual (virtual reality).
Baca juga: (Fitur live streaming medsos berpotensi suburkan pembajakan film)
Alhasil, orang lebih tertarik untuk saling mengobrol (chatting) lewat WhatsApp dan Skype ketimbang mendengar suara atau menatap wajah lawan bicara secara langsung.
Sesat pikir ketiga, dunia medsos menyamaratakan lawan bicara, karena mereka sekedar lawan bicara atau konco dari komunitas yang menyenangkan. Jika lawan bicara dirasa menyebalkan, maka tinggal memencet tombol "dislike" di gawai. Habis perkara!
Ketiga sesat pikir itu pada akhirnya mengerucut kepada tiga pertanyaan mendasar dalam relasi antar manusia. Apakah dunia medsos berambisi menciptakan sosok yang ogah punya resiko?
Apakah medsos telah mewadahi sisi tanggungjawab yang merupakan intipati hubungan antar manusia? Apakah dunia medsos menghidup-hidupkan pertanyaan, "mengapa saya harus peduli dengan orang lain? Toh, saya dapat bersenang-senang lewat gawai?"
Intisari dari tiga sesat pikir medsos dapat dirumus secara negatif.
Apakah tanggungjawab terhadap orang lain menjadi hal yang tabu di alam milenial? Dunia maya memberangus pertemuan fisik, karena perjumpaan cukup secara virtual, padahal "setiap kali saya bertemu dengan orang lain, ada sesuatu yang mendasar, bahwa saya bertanggungjawab atas dirinya."
Dan sosok XYZ - sebut saja begitu - terus bergawai ria tanpa mengetahui ada tiga tips mengerjakan pekerjaan rumah (PR), yakni mengajukan pertanyaan kepada "mbah" Google, mengajukan pertanyaan langsung kepada guru kelas, dan belajar kelompok.
Yuk, ajak teman-teman belajar bersama menyelesaikan PR, tanpa ngegosip teman sekelas yang ketahuan menyontek pas ulangan Matematika. Carilah teman atau gebetan yang bisa diajak kongsi belajar bersama.
Baca juga: (Survei: mayoritas pemilih Jakarta aktif di medsos)
Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017