• Beranda
  • Berita
  • Santosa Amin, dubber Spongebob dan Suneo multitalenta

Santosa Amin, dubber Spongebob dan Suneo multitalenta

10 April 2017 11:28 WIB
Santosa Amin, dubber Spongebob dan Suneo multitalenta
Santosa Amin, pengisi suara Spongebob Squarepants dan Suneo dalam Doraemon. (ANTARA News/ Nanien Yuniar)

Jakarta (ANTARA News) - Ada Santosa Amin di balik suara cempreng Spongebob Squarepants pada awal 2000-an.

Spongebob bukan satu-satunya tokoh yang “dihidupkan” oleh Santos, panggilan akrab dubber tersebut. Dalam kurun delapan tahun terakhir, dia dipercaya mengisi suara Suneo dalam kartun Jepang Doraemon. 

Begitu pula suara Ryuzo Tanokura dari serial Oshin yang tayang ulang beberapa tahun silam, Elmo dari Sesame Street, narator di Chibi Maruko Chan, Popeye, Li Syaoran dalam Cardcaptor Sakura dan Sang Hyeok dalam drama Korea Winter Sonata.

Namun sekian banyak karakter, ternyata Spongebob Squarepants menyisakan kesan mendalam.

“Proses kastingnya tidak biasa,” kata Santos pada ANTARA News di kediamannya beberapa waktu lalu.

Awalnya tokoh Spongebob diisi oleh orang lain, namun pihak Nickelodeon rupanya tidak puas setelah satu episode selesai disulih suara. 

Santos pun diminta untuk kasting dadakan dan hanya punya waktu sekian jam untuk menciptakan suara semirip mungkin dengan tokoh spons kuning ikonik versi asli.

“Jam 12 malam saya dipanggil untuk kasting, besok harus tayang,” katanya.

Tantangan mengisi suara Spongebob Squarepantas adalah dialog yang harus diucapkan dengan kecepatan tinggi. Santos juga kerap harus merangkum dialog yang panjang agar sesuai dengan durasi Spongebob membuka mulut sehingga terdengar selaras.

“Kalau menuruti terjemahan sesungguhnya panjang banget. Kadang lipsync sedikit, padahal kalimatnya panjang karena bahasa Inggris kan berbeda dengan Indonesia.”

Selain itu, dialog Spongebob berisi lelucon yang harus dipahami sebelum membuat penonton tertawa. Ia dituntut untuk menyampaikan dalam bahasa Indonesia tanpa mengurangi kelucuan dan esensi lelucon tersebut.

“Spongebob itu film cerdas yang harus mikir. Makanya penerjemah juga harus cerdas, kadang joke luar negeri dan Indonesia beda, tapi bagaimana caranya biar bisa sampai ke penonton di sini.”

Ketertarikannya di dunia suara sudah disadari sejak masih belia. Santos senang meniru suara penyiar radio, pembawa acara berita, iklan hingga film yang berseliweran di televisi. Bahkan dialog film yang berkesan pun dihapalnya di luar kepala.

“Saya suka mendengarkan Dunia Dalam Berita, lalu meniru suara tokoh-tokoh, misalnya Harmoko,” katanya.

Sandiwara radio membuat imajinasi Santos berkembang. Ia menghidupkan kisah yang hanya dituturkan lewat suara itu melalui khayalannya.

“Saya mendengarkan sandiwara radio, jadi mengkhayal sendiri, sampai saya dandan seperti pendekar, dialog-dialognya saya hafal.”

Belajar seumur hidup

Variasi suara adalah daya tarik seorang dubber. Santos pun selalu menambah “koleksi suara” dengan mendengarkan berbagai suara. 

Latar belakang di bidang teater membantunya mengembangkan variasi lewat sumber suara hingga cara pengucapan.

Misalnya suara Barney yang besar berasal dari perut. 

Suara yang bersumber dari dada bisa menghasilkan suara menawan—  ia menyebutnya “suara ganteng” —  yang cocok untuk karakter pria menawan atau mengisi narasi. 

Mengeluarkan suara dari leher bisa menghasilkan bunyi geraman atau serak yang cocok untuk karakter monster atau tokoh menyeramkan.

“Suara kecil yang lembut, kayak suara anak kecil, sumbernya dari mulut,” imbuh salah satu pemeran dalam pentas teater “Terdakwa”.

Memperbanyak koleksi suara harus terus dilakukan meskipun ia sudah malang melintang di dubbing.
“Dubber harus fleksibel dan menguasai semua suara, itu daya jualnya,” kata pria yang sudah jadi dubber selama dua dekade itu.

Santos punya keinginan untuk memasukkan unsur Indonesia di setiap sulih suara. Prinsipnya adalah tidak mengikuti secara persis versi aslinya, tetapi menyesuaikannya dengan Indonesia.

“Kebanyakan dubber terbawa dengan intonasi atau tekanan asli dari video yang ia dubbing,” kata pria yang juga aktif menjadi narator.

Oleh karena itu, Santos menyelipkan kata-kata dari percakapan sehari-hari agar hasil sulih suaranya terdengar lebih alami selayaknya orang-orang Indonesia sedang berbicara. 

Karakter Suneo adalah kesempatan untuk mengeksplorasi dialog agar terdengar natural.

“Aku pakai ‘dong’ atau ‘ih enggak banget’, pakai bahasa yang memang kita punya. jadi terasa dekat dengan kita.”

Ketika menyulih suara sebuah film, suara aslinya tidak selalu jadi patokan. Kadang Santos memodifikasi suara sehingga jadi berbeda, namun dirasa lebih cocok untuk karakter tersebut.

Ia berpikir akan menarik bila sebuah film asing diisi dengan karakter dengan ragam logat bicara di Indonesia. 

“Misalnya tokoh ini cocok dengan logat Batak, yang itu cocok dengan medok Jawa.”

Multitalenta

Santos adalah sosok yang penuh talenta. Ia juga bisa melukis, menari, membuat film, bermain teater hingga menulis.


“Ada orang yang bilang saya terlalu rakus, ingin semuanya diambil, ya tapi saya memang suka semuanya,” kata Santos yang akan memamerkan karya lukisnya dalam waktu dekat.

Pria yang belajar melukis secara otodidak itu baru-baru ini berpartisipasi di penggalangan dana Lembaga Bantuan Hukum bersama Jaya Suprana School of Performing Arts dengan melelang empat lukisannya.

Ia juga telah membuat beberapa film pendek, termasuk “Mata Yang Enak Dipandang” jadi juara Kompetisi Film Pendek Books on Screen 2014, “Suharto” (Dari Duka Untuk Esok) dibeli Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  untuk koleksi di perpustakaan kedutaan besar Indonesia di puluhan negara, juga “Dongeng Dari Rumah Kontrakan” yang dibintangi para penyulih suara.

Bersama Indonesia Plan, Santos tampil dalam lakon monolog berjudul “Akte Kelahiran” yang dibuat sebagai wujud kepedulian terhadap mereka yang sulit mendapatkan akte sebagai identitas mendasar.

“Karya seni adalah cara saya mengekspresikan kegelisahan yang ingin disampaikan,” kata Santos yang pernah berakting dalam “Debu Revolusi” yang dibintangi Teuku Rifnu Wikana.

Meski memiliki minat besar di bidang seni, rupanya ia tidak pernah mempelajarinya secara formal. Profesi seniman yang masih dianggap sebelah mata membuat ia urung belajar lebih dalam soal seni di perguruan tinggi. Dia memutuskan untuk kuliah di jurusan manajemen meski pada akhirnya kembali menekuni dunia seni yang dicintainya.

Oleh Nanien Yuniar
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017